Blog

Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

0

Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

  1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
  2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
  3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
  4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

  1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

  1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.

Daniella Weiss: “Ibu Baptis” yang Menari di Atas Kuburan Hukum Internasional

0

Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.

Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.


Hukum Adalah Kain Kafan

Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.

Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.

Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?


Eksklusivitas vs. Kemanusiaan

Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.

Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”

Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.

Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.


Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”

Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.

Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.

Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.

Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.

Tukang Kritik

0

Sudah terlalu banyak kita punya tukang kritik. Mereka rajin. Pagi, siang, malam. Media sosial dipenuhi suara-suara sumbang, keluhan yang itu-itu saja, atau analisis sepotong yang tidak tuntas.

Mereka merasa sudah berkontribusi besar hanya karena berhasil menunjuk satu lubang kecil di kapal besar. Hebat? Tidak. Itu mudah sekali. Semua orang bisa.

Kecerdasan sejati itu bukan soal kecepatan mengkritik. Bukan soal jari yang lincah mengetik cercaan di kolom komentar.

Kecerdasan sejati adalah kemampuan untuk MENULIS.

Menulis berarti Anda telah melalui proses yang panjang:

Melihat (bukan sekadar menengok).

Mencerna (bukan sekadar menelan mentah-mentah).

Merumuskan solusi (bukan sekadar masalah).

Dan yang paling penting, MENUANGKANNYA!

Sebab, gagasan yang tidak tertulis, itu sama saja dengan mimpi di siang bolong. Menguap. Hilang.

Dan puncaknya, ketika Anda mampu menulis secara KOMPREHENSIF. Artinya, tulisan Anda tidak hanya kritik pedas, tapi juga kritik yang cerdas, yang menawarkan alternatif, yang membuka jendela baru. Ada benang merah yang kuat, dari awal masalah sampai potensi penyelesaian.

Berhenti jadi penonton yang rewel. Mulailah jadi pemain yang berpikir keras.

Latih jari Anda untuk menulis, bukan hanya menuding. Latih otak Anda untuk mencipta, bukan hanya mencela.

Sebarkan kalau Anda setuju! 🙏👍

200 Triliun yang Membelah Langit Jakarta

0


Oleh ET Hadi Saputra https://x.com/ethadisaputra

Ini cerita tentang uang. Bukan uang biasa, tapi Rp200 triliun. Angka yang bikin mata silau, bikin telinga penasaran. Tapi, ini bukan cerita tentang uang yang tiba-tiba ada. Ini cerita tentang uang yang selama ini cuma ‘tidur’ di Bank Indonesia. Tidur pulas, tanpa kerja.
Selama ini, uang itu, yang namanya Saldo Anggaran Lebih (SAL), cuma ngendap. Dia memang uangnya pemerintah, tapi disimpannya di BI. Ibarat punya kasir pribadi, uangnya disimpan di brankas si kasir. Aman. Tapi tidak produktif.
Lalu datanglah Menteri Keuangan yang baru. Namanya Purbaya Yudhi Sadewa. Dia memandangi tumpukan uang itu, lalu berpikir: kenapa uang ini cuma tidur? Kenapa tidak dibangunkan? Bangunkan, suruh dia kerja!
Maka, diambilnya keputusan yang berani. Rp200 triliun itu ditarik dari rekeningnya di BI. Tidak untuk belanja, tidak untuk utang, tapi untuk dipindahkan ke bank-bank BUMN, bank-bank pemerintah, yang kita kenal sebagai Himbara.
Keputusan ini membuat sebagian orang terkejut. “Kok berani-beraninya?” bisik mereka.
Dulu, saat pandemi, BI pernah mengucurkan uang ke pemerintah. Itu namanya monetary financing, atau ‘cetak uang’. Itu yang bikin heboh, karena ada yang bilang melanggar konstitusi. BI itu harusnya independen, tidak boleh bantu-bantu pemerintah sampai segitunya.
Tapi, ini beda. Beda sama sekali.
Purbaya tidak minta uang baru dari BI. Dia cuma memindahkan uangnya sendiri, dari satu rekening ke rekening lain. Dari rekening ‘brankas’ di BI, ke rekening ‘dompet’ di bank-bank Himbara. Secara hukum, ini tidak melanggar apa-apa. Ini urusan internal pemerintah.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, juga tidak keberatan. Malah senang. Karena dengan uang itu pindah, bank-bank Himbara punya amunisi lebih banyak. Mereka bisa lebih gampang menyalurkan kredit ke rakyat, ke pengusaha. Mesin ekonomi pun jadi lebih lancar.
Purbaya bilang, ini untuk “memaksa sistem bekerja”. Dia tidak mau uang itu cuma jadi angka mati di laporan keuangan. Dia mau uang itu hidup, bergerak, berputar. Dari bank, ke pengusaha, ke rakyat, lalu balik lagi. Membuat ekonomi berdenyut kencang.
Tentu, ada juga yang khawatir. “Bagaimana kalau nanti malah bikin inflasi?” tanya para ahli ekonomi. Ada juga yang takut nilai tukar Rupiah jadi lemah. Kekhawatiran itu wajar. Setiap kebijakan baru pasti punya risiko.
Tapi, keputusan sudah diambil. Rp200 triliun itu sudah bangun dari tidurnya. Sekarang dia mulai bekerja. Kita tinggal menunggu, seberapa efektif uang itu bisa menggerakkan roda ekonomi yang selama ini terasa berat.
Ini bukan lagi soal konstitusi. Ini soal pragmatisme. Soal uang yang harusnya bekerja, bukan tidur. Dan Purbaya sudah memulai langkah itu.

Sistem Hukum yang Bernama “Indonesia”

0

Anda tahu, kita ini bagaikan sebuah orkestra besar. Setiap alat musik punya suaranya sendiri. Biola beda dengan cello. Flute beda dengan drum. Kalau semua dipaksa bersuara sama, tidak akan ada harmoni. Yang ada hanya kebisingan.

Begitulah cara saya melihat hukum di Indonesia.

Bukan menyatukan semua suara menjadi satu. Bukan melebur hukum adat, hukum agama, dan hukum negara menjadi satu ramuan tunggal. Tidak. Itu sama saja mematikan keberagaman kita. Mematikan kekayaan kita.

Cita-cita kemerdekaan kita adalah sebuah orkestra. Di mana setiap alat musik bisa bersuara merdu. Di mana setiap hukum bisa hidup dan bernafas di wilayahnya sendiri.


Biarkan Mereka Hidup

Coba bayangkan. Sebuah desa di Bali. Di sana, hukum adat Subak mengatur pembagian air. Itu bukan hanya soal air, tapi soal keadilan. Soal persaudaraan. Itu sudah terbukti ampuh selama ratusan tahun. Apakah kita perlu menggantinya dengan undang-undang dari Jakarta? Tentu tidak.

Lalu, di sebuah pesantren di Jawa. Para santri hidup dengan aturan yang berdasar pada hukum Islam. Mereka saling menghormati. Saling membantu. Mereka punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Mereka tidak perlu diatur oleh hukum pidana yang kaku.

Dua sistem hukum ini — hukum adat dan hukum agama — adalah solusi bagi masyarakatnya. Mereka sudah terbukti ampuh. Terbukti relevan.

Maka, biarkan mereka hidup. Biarkan mereka berdenyut. Biarkan mereka menjadi solusi. Di dalam wilayahnya masing-masing. Di dalam komunitasnya masing-masing.


Payung Besar Bernama Negara

Tapi, bagaimana jika ada masalah antar-komunitas?

Misalnya, seorang pengusaha dari Jakarta, yang tunduk pada hukum negara, bersengketa dengan masyarakat adat di Papua tentang tanah. Hukum adatnya bilang tanah itu milik bersama. Hukum negaranya bilang tanah itu bisa dibeli dan dimiliki.

Di sinilah peran UUD 1945. Di sinilah peran negara.

Negara bukan pemaksa. Bukan pelebur. Negara adalah wasit. Negara adalah payung.

Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui hukum adat. Mengakui hak-hak tradisional. Itu artinya, saat ada sengketa, negara harus melihat hukum adat sebagai hukum yang sah.

Negara harus duduk bersama. Musyawarah. Mencari solusi yang adil. Yang sesuai dengan nilai-nilai adat. Sesuai dengan nilai-nilai agama. Dan tentu saja, sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan kita.


Harmoni dalam Keberagaman

Jadi, sistem hukum kita bukan sistem yang monolitik. Bukan sistem yang seragam. Tapi sistem yang pluralis. Yang mengakui keberagaman. Yang menghormati perbedaan.

Hukum adat hidup di wilayahnya.

Hukum agama hidup di komunitasnya.

Dan hukum negara menjadi payung yang mengayomi semuanya. Yang mengatasi masalah di antara mereka.

Ini adalah cita-cita kemerdekaan kita. Keluar dari sistem hukum sekuler yang seragam dan kering. Masuk ke dalam sistem hukum yang kaya. Yang berdarah daging. Yang berjiwa Indonesia.

Orkestra kita sudah lengkap. Setiap alat musik sudah punya tempatnya. Sekarang tinggal bagaimana kita memainkannya dengan indah. Agar lahir sebuah harmoni. Sebuah simfoni yang bernama Indonesia.


Apakah menurut Anda sistem hukum seperti ini bisa menyelesaikan masalah korupsi yang masif?

Denny JA Bicara Apaan?

0

Saya sangat tidak suka koruptor, saya ET Hadi Saputra memang cenderung menghindari mengomentari apalagi pendampingi kasus pidana tapi tulisan provokatif Denny JA yang beredar di WhatsApp berjudul “Belajar dari Kasus Nadiem Makarim: Inovator dalam Jeratan Hukum” harus saya kritik:

  1. Inkonsistensi dengan Prinsip Praduga Tak Bersalah
    Denny JA mengawali tulisan dengan menyebut “asas praduga tak bersalah”, tetapi esainya justru menyudutkan Nadiem Makarim secara implisit, misalnya dengan istilah “terjerembab oleh birokrasi” atau membandingkannya dengan Eike Batista yang sudah divonis korupsi. Ini kontradiktif dan dapat membentuk opini bahwa Nadiem bersalah meski proses hukum masih berlangsung.
  2. Analisis Simplistis dan Menggeneralisasi
    Denny JA menyederhanakan korupsi sebagai benturan “inovator vs birokrasi” atau “godaan korporasi global”. Padahal, korupsi kompleks, melibatkan sistem pengadaan lemah, politik uang, dan kooptasi kekuasaan. Penyederhanaan ini mengaburkan akar masalah dan meromantisasi inovator sebagai korban.
  3. Analogi Tidak Relevan
    Membandingkan Nadiem (masih tersangka) dengan Eike Batista (sudah divonis korupsi) tidak etis dan menyesatkan, menciptakan stigma negatif tanpa dasar hukum kuat.
  4. Solusi Klise dan Tidak Konkret
    Solusi seperti “transparansi digital”, “open data”, dan “blockchain” disebut tanpa penjelasan implementasi di Indonesia. Mencontoh Estonia tanpa mempertimbangkan perbedaan konteks geopolitik, budaya hukum, dan infrastruktur digital terkesan naif.
  5. Mengabaikan Konteks Politik dan Kekuasaan
    Tulisan tidak membahas dinamika kekuasaan atau kepentingan politik di balik status tersangka Nadiem, padahal ini relevan untuk analisis mendalam.
  6. Kurangnya Perspektif Hukum
    Meski kasus ini bersifat hukum, tulisan minim analisis hukum, seperti apakah indikasi korupsi pengadaan Chromebook memenuhi unsur pidana atau prosedur penyidikan. Fokusnya justru pada narasi dramatis “inovator yang jatuh”.
  7. Nada Sensasional
    Bahasa bombastis, seperti “sorot lampu menimpa simbol harapan generasi baru”, cenderung sensasional, mengurangi kredibilitas esai sebagai analisis objektif.
  8. Bias karena Tidak Menyertakan Pembelaan
    Tulisan hanya mengacu pada perspektif kejaksaan dan opini publik, tanpa sudut pandang Nadiem, menunjukkan bias jelas.
  9. Referensi Usang dan Tidak Spesifik
    Referensi klasik (Rose-Ackerman, 1999; Fukuyama, 2014) digunakan tanpa sumber terkini atau primer, seperti dokumen hukum atau wawancara.
  10. Kesimpulan Ambigu
    Kesimpulan klise, “dunia butuh sistem kokoh, bukan pahlawan instan”, tidak menjelaskan cara membangun sistem tersebut di Indonesia, sehingga normatif dan tidak actionable.

Tulisan Denny JA tentang kasus Nadiem Makarim terburu-buru, tidak seimbang, dan sensasional. Alih-alih analisis mendalam, esai ini mengaburkan fakta hukum dengan narasi “inovator vs birokrasi”. Sebagai intelektual publik, Denny JA seharusnya menyajikan analisis objektif, berimbang, dan mendalam, terutama pada kasus yang masih dalam proses hukum.

Bandung

0
  1. Suasana Kota Bandung Tahun 1990 Pada tahun 1990, suasana Kota Bandung masih terasa asri. Jalan-jalan protokol relatif sepi, dan angkutan kota masih menjadi ciri khas. Anda dapat bernostalgia dengan melihat cuplikan video suasana Kota Bandung pada masa itu1.
  2. Bioskop Jaman Dulu Bioskop dengan bangunan sendiri menjamur di Bandung sejak tahun 1900-1970an sebelum akhirnya kalah dengan bioskop yang kita kenal sekarang. Bagaimana nasib bioskop-bioskop tersebut sekarang?2
  3. Film “Selasar Kampus” Film “Selasar Kampus the Series” mengadaptasi buku novel berjudul “Selasar Kampus” yang ditulis oleh para alumni mahasiswa STT Telkom Teknik Industri angkatan 1993. Film ini mengajak kita bernostalgia dengan suasana kuliah di Bandung pada era 1990-an3.
  4. Acara “Nostalgia Jalur Da90’s” Pada 26 November 2023, acara “Nostalgia Jalur Da90’s” diadakan oleh Group Otomotif 1990 untuk menghidupkan kembali memori indah era 90an di Kota Bandung4.
  5. Asyiknya Anak Muda Bandung Era 90-an Selain genk motor dan bobogohan ala Dilan dan Milea, anak muda Bandung era 90-an juga menikmati banyak keasyikan lain. Bagi Anda yang lahir akhir 90-an hingga 2000-an, pasti memiliki kenangan unik dari masa itu5.

Semoga artikel ini membawa Anda kembali ke masa-masa indah kuliah di Bandung! 😊🎓🌆6

Jurnalistik Mudik 2015

0

Acara Jurnalistik Mudik merupakan reuni akbar bagi para alumni Jurnalistik Fikom Unpad. Acara ini diadakan pada tanggal 19 September 2015 di Kampus Fikom Unpad Jatinangor, bertepatan dengan Dies Natalis Fikom Unpad ke-55.

Ratusan alumni dari angkatan 1970-an hingga mahasiswa yang masih aktif mengikuti perkuliahan hadir di acara ini. Mereka mengenakan jaket HMJ memenuhi selasar gedung 1 Kampus Fikom Unpad.

Acara Jurnalistik Mudik dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, seperti:

  • Talkshow dengan narasumber alumni Jurnalistik Fikom Unpad yang sukses di berbagai bidang
  • Penampilan musik dari band-band alumni Fikom Unpad
  • Games yang mengakrabkan para alumni
  • Pameran foto jurnalistik
  • Penyerahan penghargaan kepada alumni berprestasi

Tujuan utama acara ini adalah untuk mempererat tali silaturahmi antar alumni Jurnalistik Fikom Unpad dan mengenang masa-masa perkuliahan. Selain itu, acara ini juga menjadi ajang bagi para alumni untuk berbagi pengalaman dan ilmu dengan para mahasiswa yang masih aktif. Acara Jurnalistik Mudik merupakan acara yang sangat positif dan bermanfaat bagi para alumni dan mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad. Acara ini diharapkan dapat terus diadakan secara berkala untuk menjaga hubungan baik antar alumni dan meningkatkan kualitas pendidikan di Jurnalistik Fikom Unpad.

Sumber:

Bentuyung Ubud Bali

0

Attending cultural dance performances is a unique experience that can help you immerse yourself in the local culture. One such place to experience this is the Bentuyung village in Ubud, Bali. This village is known for preserving the traditional arts and culture of Bali through various dance performances.

The performances include Legong dance, which is a traditional Balinese dance performed by women. These dances are not only visually stunning but also have deep cultural significance.

Attending these performances is not just about watching a show, but it is an opportunity to learn about the traditions and values of the Balinese people. You can also interact with the performers and learn about the intricate details of their costumes and makeup.

Moreover, the setting of the performances is equally mesmerizing as they are usually held in outdoor amphitheaters, with the sounds of nature complementing the music and dance. The experience is truly memorable, and you come away with a deeper appreciation of the art and culture of Bali.

Polo Match

0

Polo berkuda, atau yang sering disebut sebagai “olahraga raja-raja,” adalah salah satu olahraga tertua di dunia yang menggabungkan keahlian menunggang kuda dengan strategi tim. Meskipun populer di negara-negara seperti Argentina, Inggris, dan Amerika Serikat, polo berkuda juga mulai menemukan tempatnya di Indonesia. Artikel ini akan membahas sejarah, perkembangan, dan potensi polo berkuda di Tanah Air.


Sejarah Polo Berkuda

Polo berkuda berasal dari Persia kuno sekitar 2.500 tahun yang lalu dan awalnya dimainkan sebagai latihan perang. Olahraga ini kemudian menyebar ke Asia, termasuk India, di mana Inggris mengenalnya dan membawanya ke Eropa. Sejak itu, polo menjadi simbol status dan kemewahan, sering dimainkan oleh kalangan bangsawan dan elit.

Di Indonesia, polo berkuda mulai diperkenalkan pada era kolonial Belanda. Namun, popularitasnya tidak bertahan lama karena keterbatasan akses dan biaya yang tinggi. Baru pada beberapa dekade terakhir, polo berkuda kembali mendapatkan perhatian.


Perkembangan Polo Berkuda di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap polo berkuda di Indonesia mulai tumbuh, terutama di kalangan masyarakat kelas atas. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan ini antara lain:

  1. Klub Polo Berkuda:
    • Klub polo seperti Jakarta Polo Club dan Bali Polo Club menjadi pusat aktivitas olahraga ini. Klub-klub ini tidak hanya menyediakan fasilitas berkuda tetapi juga mengadakan turnamen dan acara sosial.
  2. Turnamen dan Kompetisi:
    • Turnamen polo berkuda mulai sering diadakan, baik skala nasional maupun internasional. Acara ini menarik pemain dari berbagai negara dan meningkatkan popularitas polo di Indonesia.
  3. Dukungan Komunitas:
    • Komunitas pecinta kuda dan polo berkuda semakin aktif, baik di media sosial maupun melalui acara-acara eksklusif. Hal ini membantu memperkenalkan olahraga ini kepada generasi muda.

Tantangan Polo Berkuda di Indonesia

Meskipun mulai berkembang, polo berkuda di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  1. Biaya Tinggi:
    • Polo berkuda membutuhkan investasi besar, mulai dari biaya pemeliharaan kuda, peralatan, hingga keanggotaan klub. Hal ini membuat olahraga ini hanya terjangkau bagi kalangan tertentu.
  2. Keterbatasan Fasilitas:
    • Fasilitas seperti lapangan polo dan pelatihan berkuda masih terbatas di Indonesia, terutama di luar kota besar seperti Jakarta dan Bali.
  3. Kurangnya Pemain Profesional:
    • Indonesia masih kekurangan pemain polo berkuda profesional yang dapat bersaing di tingkat internasional.

Potensi Polo Berkuda di Masa Depan

Polo berkuda memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia, terutama dengan dukungan dari pemerintah dan swasta. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Pembinaan Atlet Muda:
    • Membuka pelatihan dan akademi polo berkuda untuk menarik minat generasi muda.
  2. Promosi dan Edukasi:
    • Mengadakan workshop, seminar, dan acara publik untuk memperkenalkan polo berkuda kepada masyarakat luas.
  3. Kerjasama Internasional:
    • Menjalin kerjasama dengan klub polo dari negara lain untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

Fakta Menarik tentang Polo Berkuda

  • Polo berkuda adalah olahraga tim tertua di dunia.
  • Kuda polo, atau “polo pony,” adalah kuda khusus yang dilatih untuk kecepatan, ketangkasan, dan kestabilan.
  • Setiap tim terdiri dari empat pemain, dan permainan dibagi menjadi periode yang disebut “chukka.”

Kesimpulan

Polo berkuda di Indonesia mungkin masih dalam tahap awal perkembangan, tetapi minat dan antusiasme terhadap olahraga ini terus meningkat. Dengan dukungan yang tepat, polo berkuda tidak hanya dapat menjadi olahraga elit tetapi juga bagian dari budaya olahraga Indonesia yang inklusif dan dinamis.