0
0
0

Bali

0

Bandung

0

Blog

Cibubur

0

Rabu, 11 Februari 2009.

Udara Cibubur yang sejuk menyambut kami. Setelah melewati gerbang kayu berbentuk gapura yang rimbun diselimuti tanaman merambat, kami memasuki sebuah kompleks hunian (compound) yang terasa sunyi dan damai. Ini bukan rumah biasa; arsitektur terbukanya terbagi dalam beberapa bangunan unik yang mengelilingi sebuah halaman utama. Tepat di tengah compound itu, terhampar kolam renang jernih yang memancarkan keteduhan, menjadi jantung dari kediaman Christine Hakim, tempat kumpul hangat para sahabat lama.


Di Warung Sisi Kolam

Ini bukanlah pertemuan resmi, melainkan kumpul-kumpul akrab. Kami, rombongan MPKAS—saya, ET Hadi Saputra, Nofrins Napilus, Maelani Mairisa, Nanang Asfarinal, dan Johan Backir—disambut dengan pelukan hangat oleh Uni Christine Hakim. Di sana, sahabat karib Uni Christine, Ricky Avenzora (Dosen IPB), sudah lebih dulu tiba, santai mengobrol dengan Uni Christine dan Oma.

Kami tidak diarahkan ke rumah utama, melainkan menuju ke sebuah bangunan unik di sisi kolam renang—salah satu bangunan di dalam compound tersebut. Bangunan itu, yang didesain mirip warung dengan sentuhan kayu dan suasana terbuka, terasa begitu akrab dan nyaman. Saking miripnya warung, di sudutnya bahkan tampak sebuah kotak kerupuk besar—sebuah detail yang langsung memecah tawa kami.

Oma, dengan kehangatan khasnya, segera menunjukan kepada kami hidangan siang: perpaduan Gudeg Krecek dari Yogyakarta dan aneka makanan minang lengkap juga khas Ranah Minang.

“Makan di sini memang paling enak,” kata Uni Christine, tertawa. “Tempatnya santai, jadi obrolan pun mengalir lancar. Silakan, jangan sungkan! Anggap saja warung sendiri.” Sambil meraih korek dari meja dihapannya.

Mengenang Perjuangan Mak Itam

Di tengah suasana akrab itu, obrolan pun bergeser dari kenangan lama ke proyek yang kini menyatukan semangat kami: upaya menghidupkan kembali lokomotif uap legendaris.

“Bagaimana kabar Mak Itam kita yang sudah sampai di Sawahlunto?” tanya Ricky Avenzora.

Nofrins Napilus menjawab antusias. “Aman! Setelah perjuangan panjang menjemputnya dari Ambarawa, lokomotif E1060 itu kini sudah berada di Sawahlunto. Kami berdua—saya dan Hadi—benar-benar lega.”

Saya, ET Hadi Saputra, menambahkan. “Targetnya, Uni, Mak Itam bisa segera diresmikan operasionalnya bersamaan dengan Museum Kereta Api Sawahlunto. Dia harus kembali meraung dengan roda gigi khasnya, melintasi jalur menantang di tepi Danau Singkarak.”

Maelani, Nanang, dan Johan ikut berbagi cerita lucu dan heroik selama proses pemindahan lokomotif. Uni Christine, sebagai sahabat dan aktivis budaya, mendengarkan dengan penuh bangga.

“Kalian tidak hanya mengurus kereta api, kalian mengurus memori bangsa,” puji Uni Christine. “Ini adalah perjuangan nyata. Tanggalnya sudah ditentukan bukna? Saya, Oma dan Opa akan ikut ke Sumatera. Saya pastikan Opa akan melihat Mak Itam beraksi kembali di kampung halamna beliau.”


Kehangatan dan Janji Dukungan

Sore menjelang, diakhiri dengan hidangan penutup Pisang Goreng dan Spagheti yang disajikan Oma, perpisahan terasa hangat. Reuni di warung sisi kolam Uni Christine hari itu adalah penegasan kembali ikatan persahabatan yang kuat, di mana dukungan tulus diberikan tanpa perlu formalitas.

Kami meninggalkan Cibubur dengan semangat baru. Di rumah seorang legenda, di tengah kehangatan sahabat, perjuangan Mak Itam mendapatkan restu yang paling berharga.

Padang

0

Polo Match

0

Polo berkuda, atau yang sering disebut sebagai “olahraga raja-raja,” adalah salah satu olahraga tertua di dunia yang menggabungkan keahlian menunggang kuda dengan strategi tim. Meskipun populer di negara-negara seperti Argentina, Inggris, dan Amerika Serikat, polo berkuda juga mulai menemukan tempatnya di Indonesia. Artikel ini akan membahas sejarah, perkembangan, dan potensi polo berkuda di Tanah Air.


Sejarah Polo Berkuda

Polo berkuda berasal dari Persia kuno sekitar 2.500 tahun yang lalu dan awalnya dimainkan sebagai latihan perang. Olahraga ini kemudian menyebar ke Asia, termasuk India, di mana Inggris mengenalnya dan membawanya ke Eropa. Sejak itu, polo menjadi simbol status dan kemewahan, sering dimainkan oleh kalangan bangsawan dan elit.

Di Indonesia, polo berkuda mulai diperkenalkan pada era kolonial Belanda. Namun, popularitasnya tidak bertahan lama karena keterbatasan akses dan biaya yang tinggi. Baru pada beberapa dekade terakhir, polo berkuda kembali mendapatkan perhatian.


Perkembangan Polo Berkuda di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap polo berkuda di Indonesia mulai tumbuh, terutama di kalangan masyarakat kelas atas. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan ini antara lain:

  1. Klub Polo Berkuda:
    • Klub polo seperti Jakarta Polo Club dan Bali Polo Club menjadi pusat aktivitas olahraga ini. Klub-klub ini tidak hanya menyediakan fasilitas berkuda tetapi juga mengadakan turnamen dan acara sosial.
  2. Turnamen dan Kompetisi:
    • Turnamen polo berkuda mulai sering diadakan, baik skala nasional maupun internasional. Acara ini menarik pemain dari berbagai negara dan meningkatkan popularitas polo di Indonesia.
  3. Dukungan Komunitas:
    • Komunitas pecinta kuda dan polo berkuda semakin aktif, baik di media sosial maupun melalui acara-acara eksklusif. Hal ini membantu memperkenalkan olahraga ini kepada generasi muda.

Tantangan Polo Berkuda di Indonesia

Meskipun mulai berkembang, polo berkuda di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  1. Biaya Tinggi:
    • Polo berkuda membutuhkan investasi besar, mulai dari biaya pemeliharaan kuda, peralatan, hingga keanggotaan klub. Hal ini membuat olahraga ini hanya terjangkau bagi kalangan tertentu.
  2. Keterbatasan Fasilitas:
    • Fasilitas seperti lapangan polo dan pelatihan berkuda masih terbatas di Indonesia, terutama di luar kota besar seperti Jakarta dan Bali.
  3. Kurangnya Pemain Profesional:
    • Indonesia masih kekurangan pemain polo berkuda profesional yang dapat bersaing di tingkat internasional.

Potensi Polo Berkuda di Masa Depan

Polo berkuda memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia, terutama dengan dukungan dari pemerintah dan swasta. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Pembinaan Atlet Muda:
    • Membuka pelatihan dan akademi polo berkuda untuk menarik minat generasi muda.
  2. Promosi dan Edukasi:
    • Mengadakan workshop, seminar, dan acara publik untuk memperkenalkan polo berkuda kepada masyarakat luas.
  3. Kerjasama Internasional:
    • Menjalin kerjasama dengan klub polo dari negara lain untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

Fakta Menarik tentang Polo Berkuda

  • Polo berkuda adalah olahraga tim tertua di dunia.
  • Kuda polo, atau “polo pony,” adalah kuda khusus yang dilatih untuk kecepatan, ketangkasan, dan kestabilan.
  • Setiap tim terdiri dari empat pemain, dan permainan dibagi menjadi periode yang disebut “chukka.”

Kesimpulan

Polo berkuda di Indonesia mungkin masih dalam tahap awal perkembangan, tetapi minat dan antusiasme terhadap olahraga ini terus meningkat. Dengan dukungan yang tepat, polo berkuda tidak hanya dapat menjadi olahraga elit tetapi juga bagian dari budaya olahraga Indonesia yang inklusif dan dinamis.

Cibubur

0

Spending at evening with friends at Christine Hakim house. She is a renowned actress and film producer from Indonesia. She was born on December 25th, 1956, and grew up in a family with strong artistic roots, as her father was a playwright and actor.

Throughout her career, Christine has received widespread recognition for her outstanding performances in numerous films, including “Cinta Pertama” (1973), “Special Treatment” (1980), and “Daun di Atas Bantal” (1998), among others. She has won several awards both domestically and internationally, including Best Actress at the 2004 Asia-Pacific Film Festival.

In addition to her acting career, Christine is also involved in various humanitarian and educational initiatives. She co-founded the Jakarta Arts Council in 1998, and in 2012 she established the Christine Hakim Foundation which focuses on promoting education and improving the lives of underprivileged children and women.

Overall, Christine Hakim is a highly respected figure not just in the Indonesian film industry, but also in the wider community for her contributions to social causes.

Temu Saudagar Minang di Padang

0

Pada tahun 2007, lebih dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia berkumpul di Kota Padang untuk acara Silaturahmi Saudagar Minang. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat bisnis orang Minang dan memajukan pendidikan serta perjuangan kemerdekaan. Acara ini menjadi momen berharga bagi komunitas pedagang Minangkabau yang tersebar di berbagai negara.

Jam Gadang at Night

0

Standing beneath the illuminated face of Jam Gadang at night, a wave of nostalgia washed over me. After 28 years away, I was finally home in the city of my birth. Gazing at this familiar landmark, a flood of childhood and teenage memories came rushing back. It was a bittersweet reunion – the city had undeniably changed, yet its essence remained.

The intricate details of Jam Gadang’s architecture seemed even more striking against the night sky. A profound sense of gratitude swelled within me – gratitude for the chance to revisit my roots, to reconnect with the wonders that shaped my life. This experience, etched forever in my heart, is a treasure I will always hold dear.

Daniella Weiss: “Ibu Baptis” yang Menari di Atas Kuburan Hukum Internasional

0

Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.

Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.


Hukum Adalah Kain Kafan

Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.

Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.

Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?


Eksklusivitas vs. Kemanusiaan

Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.

Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”

Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.

Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.


Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”

Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.

Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.

Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.

Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.

Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

0

Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

  1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
  2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
  3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
  4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

  1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

  1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.

Beda 10 Tahun Lipat 10 Kali: Malapetaka Hilangnya Batasan Harga

0

Kita memang bangsa yang senang serba fantastis. Angka fasilitas pejabat selalu melonjak tanpa permisi. Dulu ada batasan harga masuk akal. Sekarang tak masuk akal.

Lihat rumah pensiun: hadiah perpisahan negara untuk mantan presiden dan wakil presiden sebagai tanda terima kasih.

Dulu batas harga maksimal Rp20 miliar. Angka itu sudah besar untuk rumah layak di Jakarta, Bandung, atau mana pun. Mantan Presiden SBY dapat di Cikeas, 1.500 m². Soeharto konon tolak rumah, minta uang Rp20 miliar. Itu patokan tidak tertulis.

Itu satu dekade lalu.

Negeri Memberi Rumah vs. Negeri Memberi Dana

Di AS, Kanada, Eropa: mantan kepala negara dapat pensiun tahunan, pengamanan seumur hidup, biaya kantor, staf—dukungan untuk berkarya. Tapi rumah? Obama atau Bush kembali ke rumah pribadi atau beli sendiri. Negara tak belikan properti super-premium.

Indonesia unik: beri rumah hadiah. Megawati dan SBY pilih di Jakarta, luas 1.500 m², biaya arah Rp20 miliar.

Kini loncat jauh.

Lonjakan Tanpa Batas

Sekarang rumah pensiun Jokowi di Colomadu, Karanganyar: lahan 12.000 m² (1,2 hektar).

Bandingkan: SBY 1.500 m², Jokowi 12.000 m²—beda 8 kali lipat.

Harga tanah Rp10–15 juta/m². Minimum Rp10 juta: 12.000 × Rp10 juta = Rp120 miliar (tanah saja), 6 kali patokan lama.

Total taksiran Rp200 miliar (termasuk bangunan). Beda 10 tahun, lipat 10 kali.

Aturan Bermasalah

Lonjakan karena batas Rp20 miliar dihapus di PMK 120/PMK.06/2022. Kini batas luas tanah (1,5 ha Jakarta, 2 ha luar), bangunan 2.500 m²—tapi harga tak dibatasi. Negara bayar berapapun asal luas sesuai.

Pintu anggaran fantastis terbuka. Jokowi dikenal sederhana, bicara hemat—tapi rumah pensiunnya paling mahal sejarah.

Ini jarak antara ucapan dan realitas.

Rp20 miliar jadi Rp200 miliar bukan inflasi, tapi lonjakan kebablasan tanpa rem biaya. Kontras dengan negara fokus dukungan operasional.

Preseden bahaya: wakil presiden sekarang nanti pensiun pilih lokasi lebih mahal? Negara bayar berapa?

Rp200 miliar alarm: kehati-hatian anggaran pejabat tidur. Harus dibunyikan BPK dan DPR. Jangan jadi beban termahal rakyat karena aturan tanpa rem harga.

Beda 10 tahun lipat 10 kali. Cari tahu apa membuat harga melambung, selain tanah mahal.

MBG Bukan Investasi.

0

MBG. Makan Bergizi Gratis.
Nama yang keren. Tujuannya mulia: Gizi untuk anak bangsa.
Tapi sinyalemen Ekonomi RI diprediksi melambat diwarnai Luhut dengan bilang “Ini waktu tepat investasi di MBG.”
Jebret.
Saya mendadak harus menghela napas panjang. Bukan karena ekonominya melambat. Itu wajar. Dunia memang lagi gonjang-ganjing.
Yang bikin saya harus seduh kopi secangkir lagi adalah narasi itu. Investasi.
MBG itu kan program Negara yang didanai APBN. Uang rakyat. Fungsinya sosial. Untuk gizi.
Ketika istilahnya digeser menjadi “investasi,” alarm bahaya hukum saya langsung bunyi. Kencang sekali.

Bahaya dari Pergeseran Makna Kata:
Investasi itu soal modal yang kembali. Soal untung. Belanja negara itu soal kewajiban. Soal melayani rakyat. Soal menyejahterakan.
Kalau MBG disebut investasi, seolah-olah program gizi ini boleh rugi asal dampak ekonominyq besar. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak, tidak boleh ada kata rugi. Itu harga mati.
Anggarannya ratusan triliun. Uang yang begitu besar. Logikanya, kalau dana sebesar itu disuntikkan ke mana saja, pasti ekonomi bergerak.
Tapi kita ini bicara hukum.
Dasar hukum penggunaan APBN wajib kuat. Tertib. Transparan. Akuntabel. Itu tiga kata kunci yang tidak boleh digeser. Sama sekali.
Ketika dorongan “investasi” ini menguat, saya khawatir akuntabilitasnya merosot.
Kualitasnya menjadi nomor dua.
Keselamatan anak-anak menjadi nomor tiga.
Yang penting: Ekonomi bergerak.
Lalu, di mana posisi hukumnya?

Mari kita lihat fakta di lapangan.
Ada kasus keracunan di sana-sini. Berkali-kali.
Keracunan itu bukan urusan sepele. Dalam hukum, itu namanya kelalaian. Kelalaian negara dalam menjamin keamanan pangan yang didistribusikan itu Pidana.
Negara harusnya hadir sebagai penjamin mutu, terutama saat menyentuh nasib anak-anak.
Kalau kualitas dan higienitasnya jebol, lantas apa yang kita investasikan? Investasi Risiko kah? Sediakan asuransi?
Pernyataan “waktu tepat investasi” ini juga mengirimkan sinyal ambigu ke pasar. Investasi siapa yang dimaksud?
Apakah ini sinyal bahwa UMKM lokal yang harusnya digerakkan, justru akan dikalahkan oleh pemain besar yang punya modal dan akses lebih dekat ke pusat?
Inilah yang disebut potensi moral hazard.
UU Pengadaan Barang dan Jasa itu rumit. Sengaja dibuat rumit agar uang rakyat tidak bocor. Ketika ada sinyal untuk tancap gas demi menggerakkan ekonomi, muncul kekhawatiran: Apakah proses pengadaan itu masih akan ketat?
Atau jangan-jangan, dasar hukumnya dikesampingkan sedikit. Demi percepatan. Demi “investasi”.
Padahal, mempercepat belanja negara tidak boleh berarti mempercepat proses melanggar hukum. Itu fatal.

Sebuah program bernilai ratusan triliun harus dijalankan dengan elegan. Elegan dalam arti patuh hukum, efisien, dan efektif.
MBG harus kembali ke khitah-nya: Belanja Publik untuk SDM.

  • Stop Narasi “Investasi”. Ganti dengan “Penjaminan Gizi”. Ini bukan bisnis, ini kewajiban negara.
  • Perketat Pengawasan. Kasus keracunan harus diselesaikan di ranah hukum. Harus ada yang bertanggung jawab. Agar ini jadi pelajaran.
  • Transparansi Total. Buka semua data pengadaan. Siapa yang dapat tender. Berapa harga pokoknya. Biar rakyat yang mengawasi.
    Ekonomi boleh melambat. Tapi ketaatan pada hukum tidak boleh ikut melambat.
    Jika kita ingin MBG menjadi pondasi Generasi Emas, fondasinya harus kuat. Bukan dari rupiah yang disuntikkan, tapi dari kepastian hukum yang dijamin.
    Kalau dasarnya sudah goyah, mau seberapa cepat pun larinya, pasti akan limbung.
    Itu pasti.

Tak ada gunanya kalau makanan bergizi (berasuransi) jika membuat anak kita mati.