Blog

Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

0

Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

  1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
  2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
  3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
  4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

  1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

  1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.

Pahitnya Whoosh: Tipuan Bunga dan B2B

0

Anda lihat Whoosh melaju. Keren, gagah, melesat 350 kilometer per jam. Kita bangga. Ada ‘kebanggaan nasional’di sana. Tapi, saya selalu percaya, kebanggaan sejati diukur dari ‘kekuatan dompet’dan ‘kejujuran janji’—bukan sekadar kecepatan kereta.
Di balik kemewahan 142 kilometer jalur kereta cepat Jakarta-Bandung itu, tersembunyi borok yang menganga lebar dalam tata kelola kebijakan kita. Ini bukan sekadar missmanagement, ini adalah kegagalan sistemik menjaga amanah.
Kegagalan Epik ‘Jurus B to B’: APBN Diseret Paksa
Inti dari kebobrokan ini adalah janji politik yang dilanggar secara telanjang.
Kita ingat betul saat Jepang membawa proposal bunga super-diskon (0,1% dengan term pinjaman 40 tahun), tapi menuntut jaminan negara (G2G).Pemerintah menolak tegas: “Proyek ini harus B2B murni. APBN haram disentuh.”
Lalu, kita memilih Tiongkok karena janji B to B murni. Namun, janji itu adalah “gula-gula”di awal. Tiongkok memberikan pinjaman dengan ‘bunga ajaib’2% hingga 3,4% dari China Development Bank (CDB)—jauh lebih mencekik dibanding Jepang.
Paradoks Fatal: Bunga Mahal + Jaminan Negara
Ketika cost overrunterjadi dan membengkak hingga US$1,2 miliar(sekitar Rp 18 triliun), pemerintah justru melakukan manuver fatal:
Suntikan PMN (Penyertaan Modal Negara):Janji itu ambruk. APBN resmi digunakan untuk menambah modal BUMN.
Penjaminan Utang:Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memberikan ‘penjaminan pemerintah’atas pinjaman PT KAI untuk Whoosh.
Kita menolak bunga 0,1% karena takut APBN terbebani. Tapi, kita menerima bunga mahal Tiongkok dan akhirnya tetap membebani APBN. Kita mendapat yang terburuk dari dua dunia. Jaksa Agung dan KPK seharusnya sudah turun tangan mengusut tuntas kebijakan berbiaya triliunanyang secara fundamental merugikan keuangan negara ini.
Beban ‘Bom Waktu’ di Punggung BUMN
Dampak terbesar dirasakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang dipaksa menjadi ‘tumbal’pemimpin konsorsium.
KAI Jadi Korban ‘Subsidi Silang’ Paksa
Bunga Mematikan: KAI harus menanggung utang pokok US$5,43 miliar. Beban bunga tahunannya saja diperkirakan Rp 1,9 triliun. Angka ini membuat keuangan KAI ‘berdarah-darah’sejak Whoosh beroperasi, karena pendapatan KCIC belum mampu menutup kewajiban ini. KAI mencatat kerugian di PSBI Rp 951 miliar di semester I-2025 saja!
“Perampasan” Keuntungan Korporasi:Keuntungan bersih dari BUMN lain, seperti dividen dari perusahaan tambang, harus dialihkan untuk menopang KAI. Ini adalah ‘pembajakan keuntungan’yang merusak good corporate governance.
Dana Cadangan (Sinking Fund):KAI bahkan harus menyisihkan dana sinking fund Rp 1,455 triliunper tahun sebagai ‘dana darurat’ yang sewaktu-waktu bisa ditarik jika Whoosh kepepet. Ini mengganggu fokus KAI pada pengembangan kereta konvensional.
Retorika Pejabat: Lucu dan Sinis
Menteri Keuangan saat ini boleh beretorika, “Jangan kalau enak swasta, kalau tidak enak government.”Mereka menolak APBN dipakai bayar utang Whoosh, menyarankan agar utang diurus oleh BUMN (Danantara) melalui dividen BUMN. Retorika ini sinis dan lucu. Sebab, pemerintah sendirilah yang membuat BUMN terperangkap dengan memberikan jaminan PMK dan suntikan PMN di awal. Pemerintah (baca: Luhut) tidak bisa ‘cuci tangan’sekarang.
Ancaman ‘Jebakan Utang’ dan Kedaulatan Teknis
Kontroversi Whoosh bukan hanya soal uang, tapi soal masa depan Indonesia.
Jaminan Aset vs. Debt Trap
Tingginya bunga dan skema pinjaman yang dirahasiakan membuat Indonesia masuk dalam risiko ‘Jebakan Utang’Tiongkok, seperti yang dialami Sri Lanka.
Jika Whoosh kolaps atau KAI gagal bayar utang pokok/bunga:
Aset Dijaminkan:Aset strategis Kereta Cepat berpotensi besar diambil alih, atau konsesi operasionalnya dikuasai penuh oleh Tiongkok, karena APBN adalah penjamin utama pinjaman.
Kedaulatan Hilang:Kita kehilangan kontrol atas infrastruktur vital yang dibangun di atas tanah kita sendiri.
Alih Teknologi: Sebuah ‘Hoax’ Strategis?
Janji alih teknologi Tiongkok yang sempat menjadi poin pemenang kini masih menjadi pertanyaan besar. Tanpa transfer teknologi yang sukses, Indonesia hanya akan menjadi ‘konsumen mahal’yang terpaksa membayar Tiongkok untuk pemeliharaan, suku cadang, dan perbaikan Whoosh selama puluhan tahun ke depan—sebuah ‘penjajahan teknis’berbiaya mahal.
Whoosh adalah Pilihan Kebijakan yang Keliru
Whoosh adalah simbol dari ‘pilihan kebijakan yang salah kaprah’: mendahulukan ‘kemewahan'(kecepatan 350 km/jam di Jawa) di atas ‘kebutuhan dasar'(konektivitas logistik murah di luar Jawa).
Rp 116 triliun itu adalah uang yang setara dengan membangun ribuan kilometer rel baru di Sumatera dan Sulawesi, memangkas biaya logistik nasional, dan mendorong pemerataan ekonomi sejati.
Uang itu setara dengan bangun Jembatan Selat Sunda yang “menyatukan” Jawa dan Sumatra. Bayangkan harga sayur dari Lampung sama dengan Harga sayur dari Bogor-Cianjur di Jakarta. Alangkah senangnya.
Pemerintah harus bertindak sekarang. Lakukan audit forensikterhadap cost overrun. Jika tidak, Whoosh yang kita banggakan akan menjadi:
W arisan H utang O leh O rang S erakah H arta. 🤦‍♂
Tegakkan hukum, batalkan jaminan APBN.Jangan jadikan Whoosh Woes (kesengsaraan) bagi generasi mendatang.

Daniella Weiss: “Ibu Baptis” yang Menari di Atas Kuburan Hukum Internasional

0

Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.

Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.


Hukum Adalah Kain Kafan

Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.

Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.

Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?


Eksklusivitas vs. Kemanusiaan

Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.

Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”

Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.

Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.


Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”

Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.

Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.

Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.

Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.

MBG Bukan Investasi.

0

MBG. Makan Bergizi Gratis.
Nama yang keren. Tujuannya mulia: Gizi untuk anak bangsa.
Tapi sinyalemen Ekonomi RI diprediksi melambat diwarnai Luhut dengan bilang “Ini waktu tepat investasi di MBG.”
Jebret.
Saya mendadak harus menghela napas panjang. Bukan karena ekonominya melambat. Itu wajar. Dunia memang lagi gonjang-ganjing.
Yang bikin saya harus seduh kopi secangkir lagi adalah narasi itu. Investasi.
MBG itu kan program Negara yang didanai APBN. Uang rakyat. Fungsinya sosial. Untuk gizi.
Ketika istilahnya digeser menjadi “investasi,” alarm bahaya hukum saya langsung bunyi. Kencang sekali.

Bahaya dari Pergeseran Makna Kata:
Investasi itu soal modal yang kembali. Soal untung. Belanja negara itu soal kewajiban. Soal melayani rakyat. Soal menyejahterakan.
Kalau MBG disebut investasi, seolah-olah program gizi ini boleh rugi asal dampak ekonominyq besar. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak, tidak boleh ada kata rugi. Itu harga mati.
Anggarannya ratusan triliun. Uang yang begitu besar. Logikanya, kalau dana sebesar itu disuntikkan ke mana saja, pasti ekonomi bergerak.
Tapi kita ini bicara hukum.
Dasar hukum penggunaan APBN wajib kuat. Tertib. Transparan. Akuntabel. Itu tiga kata kunci yang tidak boleh digeser. Sama sekali.
Ketika dorongan “investasi” ini menguat, saya khawatir akuntabilitasnya merosot.
Kualitasnya menjadi nomor dua.
Keselamatan anak-anak menjadi nomor tiga.
Yang penting: Ekonomi bergerak.
Lalu, di mana posisi hukumnya?

Mari kita lihat fakta di lapangan.
Ada kasus keracunan di sana-sini. Berkali-kali.
Keracunan itu bukan urusan sepele. Dalam hukum, itu namanya kelalaian. Kelalaian negara dalam menjamin keamanan pangan yang didistribusikan itu Pidana.
Negara harusnya hadir sebagai penjamin mutu, terutama saat menyentuh nasib anak-anak.
Kalau kualitas dan higienitasnya jebol, lantas apa yang kita investasikan? Investasi Risiko kah? Sediakan asuransi?
Pernyataan “waktu tepat investasi” ini juga mengirimkan sinyal ambigu ke pasar. Investasi siapa yang dimaksud?
Apakah ini sinyal bahwa UMKM lokal yang harusnya digerakkan, justru akan dikalahkan oleh pemain besar yang punya modal dan akses lebih dekat ke pusat?
Inilah yang disebut potensi moral hazard.
UU Pengadaan Barang dan Jasa itu rumit. Sengaja dibuat rumit agar uang rakyat tidak bocor. Ketika ada sinyal untuk tancap gas demi menggerakkan ekonomi, muncul kekhawatiran: Apakah proses pengadaan itu masih akan ketat?
Atau jangan-jangan, dasar hukumnya dikesampingkan sedikit. Demi percepatan. Demi “investasi”.
Padahal, mempercepat belanja negara tidak boleh berarti mempercepat proses melanggar hukum. Itu fatal.

Sebuah program bernilai ratusan triliun harus dijalankan dengan elegan. Elegan dalam arti patuh hukum, efisien, dan efektif.
MBG harus kembali ke khitah-nya: Belanja Publik untuk SDM.

  • Stop Narasi “Investasi”. Ganti dengan “Penjaminan Gizi”. Ini bukan bisnis, ini kewajiban negara.
  • Perketat Pengawasan. Kasus keracunan harus diselesaikan di ranah hukum. Harus ada yang bertanggung jawab. Agar ini jadi pelajaran.
  • Transparansi Total. Buka semua data pengadaan. Siapa yang dapat tender. Berapa harga pokoknya. Biar rakyat yang mengawasi.
    Ekonomi boleh melambat. Tapi ketaatan pada hukum tidak boleh ikut melambat.
    Jika kita ingin MBG menjadi pondasi Generasi Emas, fondasinya harus kuat. Bukan dari rupiah yang disuntikkan, tapi dari kepastian hukum yang dijamin.
    Kalau dasarnya sudah goyah, mau seberapa cepat pun larinya, pasti akan limbung.
    Itu pasti.

Tak ada gunanya kalau makanan bergizi (berasuransi) jika membuat anak kita mati.

Padang

0

Pensertifikatan Tanah: Repetisi Dosa Kolonial

0

Sejarah pensertifikatan tanah adalah tragedi yang berulang, bukan sebuah inisiatif mulia. Dosa pertama kali dicatatkan oleh Belanda melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Itu bukan aturan, tapi tiket bagi kapitalis Eropa. Mereka melahirkan Domeinverklaring—sebuah “pernyataan kepemilikan” ala penjajah—yang secara sepihak menetapkan: tanah yang tidak memiliki bukti Barat (Eigendom) otomatis menjadi domain negara.
Matilah hak ulayat yang berbasis hukum adat tak tertulis!
Tanah komunal kemudian disulap menjadi lahan Erfpacht (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan dan tambang, yang merampas kedaulatan masyarakat adat atas ruang hidupnya.

Ironisnya, setelah merdeka, semangat perampasan ini seharusnya diputus tuntas oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal ini adalah janji suci kita: Negara wajib “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.” Jadi, sertifikasi seharusnya menjadi penobatan kedaulatan adat, bukan lagi alat penggusur.

Kontradiksi UUPA: Ketika Mandat Negara Lebih Kuat dari Amanat Konstitusi
Sayangnya, janji konstitusi seringkali tertinggal di pintu birokrasi. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, meski lahir dengan roh anti-kolonial, justru mengandung lubang besar yang berlawanan dengan semangat Pasal 18B ayat (2) UUD 45. Lubang itu bernama Hak Menguasai dari Negara (HMN), yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA. HMN adalah pedang bermata dua. Ia seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, tapi penafsiran dominannya kembali menyerupai Domeinverklaring modern. Negara menganggap tanah adat yang belum disertifikasi sebagai ‘tanah negara bebas’, lalu dengan mudah mengalokasikannya menjadi konsesi besar (HGU, HPL) kepada korporasi. Logikanya terbalik: bukannya negara yang harus membuktikan hak ulayat itu sudah punah, tapi masyarakat adat yang harus berdarah-darah membuktikan bahwa hak mereka “masih hidup” melalui proses birokrasi yang rumit. Inilah mengapa pensertifikatan masif seperti PTSL, dalam kasus-kasus konflik, justru dilihat sebagai legalisasi untuk merampas, menggeser hak komunal ke hak individual atau korporasi.

Ancaman dari Balik Sertifikat
Saat sertifikat dikeluarkan secara sistematis, tujuannya satu: kepastian hukum. Tapi kepastian hukum untuk siapa? Bagi masyarakat adat, sertifikat itu seringkali menjadi lonceng kematian. Mereka yang mempertahankan wilayahnya dengan sejarah dan adat, harus berhadapan dengan selembar kertas berharga yang sah secara hukum positif. Di sinilah letak ironi terbesar: sertifikasi yang seharusnya menjadi bagian dari Reforma Agraria dan pelaksana amanat UUD 45, justru menjadi pemicu konflik struktural. Ia memfasilitasi pengalihan tanah dari penguasaan kolektif tradisional menjadi modal yang bisa diagunkan dan diperjualbelikan, sesuai kepentingan pasar.
Intinya, jika program pensertifikatan tidak didahului dengan penegasan dan pengakuan wilayah adat—sesuai perintah konstitusi—maka ia bukan sedang membangun kepastian hukum, melainkan sedang mereproduksi ketidakadilan agraria yang diwariskan oleh Belanda.

Cibubur

0

Rabu, 11 Februari 2009.

Udara Cibubur yang sejuk menyambut kami. Setelah melewati gerbang kayu berbentuk gapura yang rimbun diselimuti tanaman merambat, kami memasuki sebuah kompleks hunian (compound) yang terasa sunyi dan damai. Ini bukan rumah biasa; arsitektur terbukanya terbagi dalam beberapa bangunan unik yang mengelilingi sebuah halaman utama. Tepat di tengah compound itu, terhampar kolam renang jernih yang memancarkan keteduhan, menjadi jantung dari kediaman Christine Hakim, tempat kumpul hangat para sahabat lama.


Di Warung Sisi Kolam

Ini bukanlah pertemuan resmi, melainkan kumpul-kumpul akrab. Kami, rombongan MPKAS—saya, ET Hadi Saputra, Nofrins Napilus, Maelani Mairisa, Nanang Asfarinal, dan Johan Backir—disambut dengan pelukan hangat oleh Uni Christine Hakim. Di sana, sahabat karib Uni Christine, Ricky Avenzora (Dosen IPB), sudah lebih dulu tiba, santai mengobrol dengan Uni Christine dan Oma.

Kami tidak diarahkan ke rumah utama, melainkan menuju ke sebuah bangunan unik di sisi kolam renang—salah satu bangunan di dalam compound tersebut. Bangunan itu, yang didesain mirip warung dengan sentuhan kayu dan suasana terbuka, terasa begitu akrab dan nyaman. Saking miripnya warung, di sudutnya bahkan tampak sebuah kotak kerupuk besar—sebuah detail yang langsung memecah tawa kami.

Oma, dengan kehangatan khasnya, segera menunjukan kepada kami hidangan siang: perpaduan Gudeg Krecek dari Yogyakarta dan aneka makanan minang lengkap juga khas Ranah Minang.

“Makan di sini memang paling enak,” kata Uni Christine, tertawa. “Tempatnya santai, jadi obrolan pun mengalir lancar. Silakan, jangan sungkan! Anggap saja warung sendiri.” Sambil meraih korek dari meja dihapannya.

Mengenang Perjuangan Mak Itam

Di tengah suasana akrab itu, obrolan pun bergeser dari kenangan lama ke proyek yang kini menyatukan semangat kami: upaya menghidupkan kembali lokomotif uap legendaris.

“Bagaimana kabar Mak Itam kita yang sudah sampai di Sawahlunto?” tanya Ricky Avenzora.

Nofrins Napilus menjawab antusias. “Aman! Setelah perjuangan panjang menjemputnya dari Ambarawa, lokomotif E1060 itu kini sudah berada di Sawahlunto. Kami berdua—saya dan Hadi—benar-benar lega.”

Saya, ET Hadi Saputra, menambahkan. “Targetnya, Uni, Mak Itam bisa segera diresmikan operasionalnya bersamaan dengan Museum Kereta Api Sawahlunto. Dia harus kembali meraung dengan roda gigi khasnya, melintasi jalur menantang di tepi Danau Singkarak.”

Maelani, Nanang, dan Johan ikut berbagi cerita lucu dan heroik selama proses pemindahan lokomotif. Uni Christine, sebagai sahabat dan aktivis budaya, mendengarkan dengan penuh bangga.

“Kalian tidak hanya mengurus kereta api, kalian mengurus memori bangsa,” puji Uni Christine. “Ini adalah perjuangan nyata. Tanggalnya sudah ditentukan bukna? Saya, Oma dan Opa akan ikut ke Sumatera. Saya pastikan Opa akan melihat Mak Itam beraksi kembali di kampung halamna beliau.”


Kehangatan dan Janji Dukungan

Sore menjelang, diakhiri dengan hidangan penutup Pisang Goreng dan Spagheti yang disajikan Oma, perpisahan terasa hangat. Reuni di warung sisi kolam Uni Christine hari itu adalah penegasan kembali ikatan persahabatan yang kuat, di mana dukungan tulus diberikan tanpa perlu formalitas.

Kami meninggalkan Cibubur dengan semangat baru. Di rumah seorang legenda, di tengah kehangatan sahabat, perjuangan Mak Itam mendapatkan restu yang paling berharga.

Denny JA Bicara Apaan?

0

Saya sangat tidak suka koruptor, saya ET Hadi Saputra memang cenderung menghindari mengomentari apalagi pendampingi kasus pidana tapi tulisan provokatif Denny JA yang beredar di WhatsApp berjudul “Belajar dari Kasus Nadiem Makarim: Inovator dalam Jeratan Hukum” harus saya kritik:

  1. Inkonsistensi dengan Prinsip Praduga Tak Bersalah
    Denny JA mengawali tulisan dengan menyebut “asas praduga tak bersalah”, tetapi esainya justru menyudutkan Nadiem Makarim secara implisit, misalnya dengan istilah “terjerembab oleh birokrasi” atau membandingkannya dengan Eike Batista yang sudah divonis korupsi. Ini kontradiktif dan dapat membentuk opini bahwa Nadiem bersalah meski proses hukum masih berlangsung.
  2. Analisis Simplistis dan Menggeneralisasi
    Denny JA menyederhanakan korupsi sebagai benturan “inovator vs birokrasi” atau “godaan korporasi global”. Padahal, korupsi kompleks, melibatkan sistem pengadaan lemah, politik uang, dan kooptasi kekuasaan. Penyederhanaan ini mengaburkan akar masalah dan meromantisasi inovator sebagai korban.
  3. Analogi Tidak Relevan
    Membandingkan Nadiem (masih tersangka) dengan Eike Batista (sudah divonis korupsi) tidak etis dan menyesatkan, menciptakan stigma negatif tanpa dasar hukum kuat.
  4. Solusi Klise dan Tidak Konkret
    Solusi seperti “transparansi digital”, “open data”, dan “blockchain” disebut tanpa penjelasan implementasi di Indonesia. Mencontoh Estonia tanpa mempertimbangkan perbedaan konteks geopolitik, budaya hukum, dan infrastruktur digital terkesan naif.
  5. Mengabaikan Konteks Politik dan Kekuasaan
    Tulisan tidak membahas dinamika kekuasaan atau kepentingan politik di balik status tersangka Nadiem, padahal ini relevan untuk analisis mendalam.
  6. Kurangnya Perspektif Hukum
    Meski kasus ini bersifat hukum, tulisan minim analisis hukum, seperti apakah indikasi korupsi pengadaan Chromebook memenuhi unsur pidana atau prosedur penyidikan. Fokusnya justru pada narasi dramatis “inovator yang jatuh”.
  7. Nada Sensasional
    Bahasa bombastis, seperti “sorot lampu menimpa simbol harapan generasi baru”, cenderung sensasional, mengurangi kredibilitas esai sebagai analisis objektif.
  8. Bias karena Tidak Menyertakan Pembelaan
    Tulisan hanya mengacu pada perspektif kejaksaan dan opini publik, tanpa sudut pandang Nadiem, menunjukkan bias jelas.
  9. Referensi Usang dan Tidak Spesifik
    Referensi klasik (Rose-Ackerman, 1999; Fukuyama, 2014) digunakan tanpa sumber terkini atau primer, seperti dokumen hukum atau wawancara.
  10. Kesimpulan Ambigu
    Kesimpulan klise, “dunia butuh sistem kokoh, bukan pahlawan instan”, tidak menjelaskan cara membangun sistem tersebut di Indonesia, sehingga normatif dan tidak actionable.

Tulisan Denny JA tentang kasus Nadiem Makarim terburu-buru, tidak seimbang, dan sensasional. Alih-alih analisis mendalam, esai ini mengaburkan fakta hukum dengan narasi “inovator vs birokrasi”. Sebagai intelektual publik, Denny JA seharusnya menyajikan analisis objektif, berimbang, dan mendalam, terutama pada kasus yang masih dalam proses hukum.

Bandung

0
  1. Suasana Kota Bandung Tahun 1990 Pada tahun 1990, suasana Kota Bandung masih terasa asri. Jalan-jalan protokol relatif sepi, dan angkutan kota masih menjadi ciri khas. Anda dapat bernostalgia dengan melihat cuplikan video suasana Kota Bandung pada masa itu1.
  2. Bioskop Jaman Dulu Bioskop dengan bangunan sendiri menjamur di Bandung sejak tahun 1900-1970an sebelum akhirnya kalah dengan bioskop yang kita kenal sekarang. Bagaimana nasib bioskop-bioskop tersebut sekarang?2
  3. Film “Selasar Kampus” Film “Selasar Kampus the Series” mengadaptasi buku novel berjudul “Selasar Kampus” yang ditulis oleh para alumni mahasiswa STT Telkom Teknik Industri angkatan 1993. Film ini mengajak kita bernostalgia dengan suasana kuliah di Bandung pada era 1990-an3.
  4. Acara “Nostalgia Jalur Da90’s” Pada 26 November 2023, acara “Nostalgia Jalur Da90’s” diadakan oleh Group Otomotif 1990 untuk menghidupkan kembali memori indah era 90an di Kota Bandung4.
  5. Asyiknya Anak Muda Bandung Era 90-an Selain genk motor dan bobogohan ala Dilan dan Milea, anak muda Bandung era 90-an juga menikmati banyak keasyikan lain. Bagi Anda yang lahir akhir 90-an hingga 2000-an, pasti memiliki kenangan unik dari masa itu5.

Semoga artikel ini membawa Anda kembali ke masa-masa indah kuliah di Bandung! 😊🎓🌆6

Aturan Peralihan UUD 1945: Jembatan yang Terlalu Nyaman untuk Ditinggalkan

0

Beberapa hari lalu, di warung kopi langganan, seorang pengacara senior mengeluh, “Hukum di negeri ini seperti centang perenang, tidak beradat dan sekuler. Ini karena aturan peralihan UUD 1945 yang tak kunjung tuntas.”
Keluhan ini mengingatkan saya pada keruwetan hukum sejak Orde Lama hingga Reformasi: ketidakpastian berusaha, banjir gugatan ke PTUN, hingga penegakan hukum yang menakutkan bagi masyarakat miskin. Benarkah akar masalahnya ada di aturan peralihan yang berusia lebih dari 80 tahun?

Jembatan Bersejarah: Makna Aturan Peralihan

Para pendiri bangsa memasukkan Aturan Peralihan ke UUD 1945 untuk mencegah kevakuman hukum saat negara baru lahir. Pasal-pasalnya singkat: PPKI mengatur transisi pemerintahan, peraturan kolonial tetap berlaku sementara, dan Presiden serta Wakil Presiden pertama dipilih oleh PPKI. Tujuannya jelas: menjembatani masa lalu dan masa depan, bukan untuk ditinggali permanen.

Jembatan Diperbarui, Tapi Masih Transisional

Pascareformasi, aturan peralihan diubah. PPKI tak lagi disebut, tapi peraturan lama tetap berlaku hingga ada yang baru, dan amanat membentuk Mahkamah Konstitusi muncul untuk transisi menuju demokrasi. Ironisnya, semangat transisi ini macet. Jembatan yang seharusnya dilewati justru menjadi tempat tinggal, dengan peraturan lama yang pengesahannya tertunda.

Hukum Sekuler dan Tidak Beradat

Hukum saat ini sekuler dan tidak beradat karena masih mengandalkan warisan Belanda, sesuai amanat aturan peralihan yang belum tuntas. Padahal, Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 29 UUD 1945 mengarahkan pada hukum adat dan agama. Langkah menuju sana pernah dimulai, seperti Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mempositifkan hukum Islam untuk pengadilan agama. Namun, transformasi serupa untuk hukum adat dan agama lain belum tuntas.

Akar Masalah: Stagnasi dan Positivisme

Menurut Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, hukum nasional kita bersifat positivistik: formal, sentralistik, dan tak mencerminkan hukum rakyat. Akibatnya, hukum kehilangan basis sosial, menjadi “gentayangan” tanpa nilai, dan menyengsarakan masyarakat. Contohnya, pencabutan 2.078 izin tambang oleh Presiden Jokowi menunjukkan konflik antara keadilan substantif dan kepastian hukum formal. Penundaan RUU KUHP karena kontroversi politik memperparah disharmoni ini.

Potret Centang Perenang: Drama di Pengadilan

Kesenjangan antara hukum teks (das sollen) dan praktik (das sein) terlihat di pengadilan. Hukum adat sering bertentangan dengan hukum formal yang kaku, seperti dalam sengketa tanah adat yang ditolak pengadilan negeri. Namun, ada pula putusan berani, seperti kasus penyelundupan imigran Rohingya di Aceh, yang mempertimbangkan falsafah adat. Ini menunjukkan perlunya integrasi hukum formal dan nilai masyarakat.

Epilog: Meninggalkan Jembatan

Amandemen UUD 1945 adalah langkah besar menuju demokrasi, tapi reformasi hukum masih jauh dari sempurna. Jembatan aturan peralihan, yang seharusnya sementara, menjadi tempat tinggal yang nyaman. Amanat sejati—membangun hukum nasional yang progresif, berkeadilan, dan berlandaskan Pancasila—belum terwujud. Saatnya kita menyeberang, meninggalkan stagnasi, dan membangun hukum yang kokoh untuk generasi mendatang.