0
0
0

Bali

0

Cibubur

0

Blog

Bandung

0
  1. Suasana Kota Bandung Tahun 1990 Pada tahun 1990, suasana Kota Bandung masih terasa asri. Jalan-jalan protokol relatif sepi, dan angkutan kota masih menjadi ciri khas. Anda dapat bernostalgia dengan melihat cuplikan video suasana Kota Bandung pada masa itu1.
  2. Bioskop Jaman Dulu Bioskop dengan bangunan sendiri menjamur di Bandung sejak tahun 1900-1970an sebelum akhirnya kalah dengan bioskop yang kita kenal sekarang. Bagaimana nasib bioskop-bioskop tersebut sekarang?2
  3. Film “Selasar Kampus” Film “Selasar Kampus the Series” mengadaptasi buku novel berjudul “Selasar Kampus” yang ditulis oleh para alumni mahasiswa STT Telkom Teknik Industri angkatan 1993. Film ini mengajak kita bernostalgia dengan suasana kuliah di Bandung pada era 1990-an3.
  4. Acara “Nostalgia Jalur Da90’s” Pada 26 November 2023, acara “Nostalgia Jalur Da90’s” diadakan oleh Group Otomotif 1990 untuk menghidupkan kembali memori indah era 90an di Kota Bandung4.
  5. Asyiknya Anak Muda Bandung Era 90-an Selain genk motor dan bobogohan ala Dilan dan Milea, anak muda Bandung era 90-an juga menikmati banyak keasyikan lain. Bagi Anda yang lahir akhir 90-an hingga 2000-an, pasti memiliki kenangan unik dari masa itu5.

Semoga artikel ini membawa Anda kembali ke masa-masa indah kuliah di Bandung! 😊🎓🌆6

Padang

0

Polo Match

0

Polo berkuda, atau yang sering disebut sebagai “olahraga raja-raja,” adalah salah satu olahraga tertua di dunia yang menggabungkan keahlian menunggang kuda dengan strategi tim. Meskipun populer di negara-negara seperti Argentina, Inggris, dan Amerika Serikat, polo berkuda juga mulai menemukan tempatnya di Indonesia. Artikel ini akan membahas sejarah, perkembangan, dan potensi polo berkuda di Tanah Air.


Sejarah Polo Berkuda

Polo berkuda berasal dari Persia kuno sekitar 2.500 tahun yang lalu dan awalnya dimainkan sebagai latihan perang. Olahraga ini kemudian menyebar ke Asia, termasuk India, di mana Inggris mengenalnya dan membawanya ke Eropa. Sejak itu, polo menjadi simbol status dan kemewahan, sering dimainkan oleh kalangan bangsawan dan elit.

Di Indonesia, polo berkuda mulai diperkenalkan pada era kolonial Belanda. Namun, popularitasnya tidak bertahan lama karena keterbatasan akses dan biaya yang tinggi. Baru pada beberapa dekade terakhir, polo berkuda kembali mendapatkan perhatian.


Perkembangan Polo Berkuda di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap polo berkuda di Indonesia mulai tumbuh, terutama di kalangan masyarakat kelas atas. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan ini antara lain:

  1. Klub Polo Berkuda:
    • Klub polo seperti Jakarta Polo Club dan Bali Polo Club menjadi pusat aktivitas olahraga ini. Klub-klub ini tidak hanya menyediakan fasilitas berkuda tetapi juga mengadakan turnamen dan acara sosial.
  2. Turnamen dan Kompetisi:
    • Turnamen polo berkuda mulai sering diadakan, baik skala nasional maupun internasional. Acara ini menarik pemain dari berbagai negara dan meningkatkan popularitas polo di Indonesia.
  3. Dukungan Komunitas:
    • Komunitas pecinta kuda dan polo berkuda semakin aktif, baik di media sosial maupun melalui acara-acara eksklusif. Hal ini membantu memperkenalkan olahraga ini kepada generasi muda.

Tantangan Polo Berkuda di Indonesia

Meskipun mulai berkembang, polo berkuda di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  1. Biaya Tinggi:
    • Polo berkuda membutuhkan investasi besar, mulai dari biaya pemeliharaan kuda, peralatan, hingga keanggotaan klub. Hal ini membuat olahraga ini hanya terjangkau bagi kalangan tertentu.
  2. Keterbatasan Fasilitas:
    • Fasilitas seperti lapangan polo dan pelatihan berkuda masih terbatas di Indonesia, terutama di luar kota besar seperti Jakarta dan Bali.
  3. Kurangnya Pemain Profesional:
    • Indonesia masih kekurangan pemain polo berkuda profesional yang dapat bersaing di tingkat internasional.

Potensi Polo Berkuda di Masa Depan

Polo berkuda memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia, terutama dengan dukungan dari pemerintah dan swasta. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Pembinaan Atlet Muda:
    • Membuka pelatihan dan akademi polo berkuda untuk menarik minat generasi muda.
  2. Promosi dan Edukasi:
    • Mengadakan workshop, seminar, dan acara publik untuk memperkenalkan polo berkuda kepada masyarakat luas.
  3. Kerjasama Internasional:
    • Menjalin kerjasama dengan klub polo dari negara lain untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

Fakta Menarik tentang Polo Berkuda

  • Polo berkuda adalah olahraga tim tertua di dunia.
  • Kuda polo, atau “polo pony,” adalah kuda khusus yang dilatih untuk kecepatan, ketangkasan, dan kestabilan.
  • Setiap tim terdiri dari empat pemain, dan permainan dibagi menjadi periode yang disebut “chukka.”

Kesimpulan

Polo berkuda di Indonesia mungkin masih dalam tahap awal perkembangan, tetapi minat dan antusiasme terhadap olahraga ini terus meningkat. Dengan dukungan yang tepat, polo berkuda tidak hanya dapat menjadi olahraga elit tetapi juga bagian dari budaya olahraga Indonesia yang inklusif dan dinamis.

Cibubur

0

Spending at evening with friends at Christine Hakim house. She is a renowned actress and film producer from Indonesia. She was born on December 25th, 1956, and grew up in a family with strong artistic roots, as her father was a playwright and actor.

Throughout her career, Christine has received widespread recognition for her outstanding performances in numerous films, including “Cinta Pertama” (1973), “Special Treatment” (1980), and “Daun di Atas Bantal” (1998), among others. She has won several awards both domestically and internationally, including Best Actress at the 2004 Asia-Pacific Film Festival.

In addition to her acting career, Christine is also involved in various humanitarian and educational initiatives. She co-founded the Jakarta Arts Council in 1998, and in 2012 she established the Christine Hakim Foundation which focuses on promoting education and improving the lives of underprivileged children and women.

Overall, Christine Hakim is a highly respected figure not just in the Indonesian film industry, but also in the wider community for her contributions to social causes.

Temu Saudagar Minang di Padang

0

Pada tahun 2007, lebih dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia berkumpul di Kota Padang untuk acara Silaturahmi Saudagar Minang. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat bisnis orang Minang dan memajukan pendidikan serta perjuangan kemerdekaan. Acara ini menjadi momen berharga bagi komunitas pedagang Minangkabau yang tersebar di berbagai negara.

Jam Gadang at Night

0

Standing beneath the illuminated face of Jam Gadang at night, a wave of nostalgia washed over me. After 28 years away, I was finally home in the city of my birth. Gazing at this familiar landmark, a flood of childhood and teenage memories came rushing back. It was a bittersweet reunion – the city had undeniably changed, yet its essence remained.

The intricate details of Jam Gadang’s architecture seemed even more striking against the night sky. A profound sense of gratitude swelled within me – gratitude for the chance to revisit my roots, to reconnect with the wonders that shaped my life. This experience, etched forever in my heart, is a treasure I will always hold dear.

Daniella Weiss: “Ibu Baptis” yang Menari di Atas Kuburan Hukum Internasional

0

Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.

Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.


Hukum Adalah Kain Kafan

Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.

Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.

Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?


Eksklusivitas vs. Kemanusiaan

Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.

Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”

Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.

Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.


Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”

Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.

Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.

Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.

Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.

Beda 10 Tahun Lipat 10 Kali: Malapetaka Hilangnya Batasan Harga

0

Kita memang bangsa yang senang serba fantastis. Angka fasilitas pejabat selalu melonjak tanpa permisi. Dulu ada batasan harga masuk akal. Sekarang tak masuk akal.

Lihat rumah pensiun: hadiah perpisahan negara untuk mantan presiden dan wakil presiden sebagai tanda terima kasih.

Dulu batas harga maksimal Rp20 miliar. Angka itu sudah besar untuk rumah layak di Jakarta, Bandung, atau mana pun. Mantan Presiden SBY dapat di Cikeas, 1.500 m². Soeharto konon tolak rumah, minta uang Rp20 miliar. Itu patokan tidak tertulis.

Itu satu dekade lalu.

Negeri Memberi Rumah vs. Negeri Memberi Dana

Di AS, Kanada, Eropa: mantan kepala negara dapat pensiun tahunan, pengamanan seumur hidup, biaya kantor, staf—dukungan untuk berkarya. Tapi rumah? Obama atau Bush kembali ke rumah pribadi atau beli sendiri. Negara tak belikan properti super-premium.

Indonesia unik: beri rumah hadiah. Megawati dan SBY pilih di Jakarta, luas 1.500 m², biaya arah Rp20 miliar.

Kini loncat jauh.

Lonjakan Tanpa Batas

Sekarang rumah pensiun Jokowi di Colomadu, Karanganyar: lahan 12.000 m² (1,2 hektar).

Bandingkan: SBY 1.500 m², Jokowi 12.000 m²—beda 8 kali lipat.

Harga tanah Rp10–15 juta/m². Minimum Rp10 juta: 12.000 × Rp10 juta = Rp120 miliar (tanah saja), 6 kali patokan lama.

Total taksiran Rp200 miliar (termasuk bangunan). Beda 10 tahun, lipat 10 kali.

Aturan Bermasalah

Lonjakan karena batas Rp20 miliar dihapus di PMK 120/PMK.06/2022. Kini batas luas tanah (1,5 ha Jakarta, 2 ha luar), bangunan 2.500 m²—tapi harga tak dibatasi. Negara bayar berapapun asal luas sesuai.

Pintu anggaran fantastis terbuka. Jokowi dikenal sederhana, bicara hemat—tapi rumah pensiunnya paling mahal sejarah.

Ini jarak antara ucapan dan realitas.

Rp20 miliar jadi Rp200 miliar bukan inflasi, tapi lonjakan kebablasan tanpa rem biaya. Kontras dengan negara fokus dukungan operasional.

Preseden bahaya: wakil presiden sekarang nanti pensiun pilih lokasi lebih mahal? Negara bayar berapa?

Rp200 miliar alarm: kehati-hatian anggaran pejabat tidur. Harus dibunyikan BPK dan DPR. Jangan jadi beban termahal rakyat karena aturan tanpa rem harga.

Beda 10 tahun lipat 10 kali. Cari tahu apa membuat harga melambung, selain tanah mahal.

Sistem Hukum yang Bernama “Indonesia”

0

Anda tahu, kita ini bagaikan sebuah orkestra besar. Setiap alat musik punya suaranya sendiri. Biola beda dengan cello. Flute beda dengan drum. Kalau semua dipaksa bersuara sama, tidak akan ada harmoni. Yang ada hanya kebisingan.

Begitulah cara saya melihat hukum di Indonesia.

Bukan menyatukan semua suara menjadi satu. Bukan melebur hukum adat, hukum agama, dan hukum negara menjadi satu ramuan tunggal. Tidak. Itu sama saja mematikan keberagaman kita. Mematikan kekayaan kita.

Cita-cita kemerdekaan kita adalah sebuah orkestra. Di mana setiap alat musik bisa bersuara merdu. Di mana setiap hukum bisa hidup dan bernafas di wilayahnya sendiri.


Biarkan Mereka Hidup

Coba bayangkan. Sebuah desa di Bali. Di sana, hukum adat Subak mengatur pembagian air. Itu bukan hanya soal air, tapi soal keadilan. Soal persaudaraan. Itu sudah terbukti ampuh selama ratusan tahun. Apakah kita perlu menggantinya dengan undang-undang dari Jakarta? Tentu tidak.

Lalu, di sebuah pesantren di Jawa. Para santri hidup dengan aturan yang berdasar pada hukum Islam. Mereka saling menghormati. Saling membantu. Mereka punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Mereka tidak perlu diatur oleh hukum pidana yang kaku.

Dua sistem hukum ini — hukum adat dan hukum agama — adalah solusi bagi masyarakatnya. Mereka sudah terbukti ampuh. Terbukti relevan.

Maka, biarkan mereka hidup. Biarkan mereka berdenyut. Biarkan mereka menjadi solusi. Di dalam wilayahnya masing-masing. Di dalam komunitasnya masing-masing.


Payung Besar Bernama Negara

Tapi, bagaimana jika ada masalah antar-komunitas?

Misalnya, seorang pengusaha dari Jakarta, yang tunduk pada hukum negara, bersengketa dengan masyarakat adat di Papua tentang tanah. Hukum adatnya bilang tanah itu milik bersama. Hukum negaranya bilang tanah itu bisa dibeli dan dimiliki.

Di sinilah peran UUD 1945. Di sinilah peran negara.

Negara bukan pemaksa. Bukan pelebur. Negara adalah wasit. Negara adalah payung.

Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui hukum adat. Mengakui hak-hak tradisional. Itu artinya, saat ada sengketa, negara harus melihat hukum adat sebagai hukum yang sah.

Negara harus duduk bersama. Musyawarah. Mencari solusi yang adil. Yang sesuai dengan nilai-nilai adat. Sesuai dengan nilai-nilai agama. Dan tentu saja, sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan kita.


Harmoni dalam Keberagaman

Jadi, sistem hukum kita bukan sistem yang monolitik. Bukan sistem yang seragam. Tapi sistem yang pluralis. Yang mengakui keberagaman. Yang menghormati perbedaan.

Hukum adat hidup di wilayahnya.

Hukum agama hidup di komunitasnya.

Dan hukum negara menjadi payung yang mengayomi semuanya. Yang mengatasi masalah di antara mereka.

Ini adalah cita-cita kemerdekaan kita. Keluar dari sistem hukum sekuler yang seragam dan kering. Masuk ke dalam sistem hukum yang kaya. Yang berdarah daging. Yang berjiwa Indonesia.

Orkestra kita sudah lengkap. Setiap alat musik sudah punya tempatnya. Sekarang tinggal bagaimana kita memainkannya dengan indah. Agar lahir sebuah harmoni. Sebuah simfoni yang bernama Indonesia.


Apakah menurut Anda sistem hukum seperti ini bisa menyelesaikan masalah korupsi yang masif?

Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

0

Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

  1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
  2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
  3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
  4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

  1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

  1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.