
MBG. Makan Bergizi Gratis.
Nama yang keren. Tujuannya mulia: Gizi untuk anak bangsa.
Tapi sinyalemen Ekonomi RI diprediksi melambat diwarnai Luhut dengan bilang “Ini waktu tepat investasi di MBG.”
Jebret.
Saya mendadak harus menghela napas panjang. Bukan karena ekonominya melambat. Itu wajar. Dunia memang lagi gonjang-ganjing.
Yang bikin saya harus seduh kopi secangkir lagi adalah narasi itu. Investasi.
MBG itu kan program Negara yang didanai APBN. Uang rakyat. Fungsinya sosial. Untuk gizi.
Ketika istilahnya digeser menjadi “investasi,” alarm bahaya hukum saya langsung bunyi. Kencang sekali.
Bahaya dari Pergeseran Makna Kata:
Investasi itu soal modal yang kembali. Soal untung. Belanja negara itu soal kewajiban. Soal melayani rakyat. Soal menyejahterakan.
Kalau MBG disebut investasi, seolah-olah program gizi ini boleh rugi asal dampak ekonominyq besar. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak, tidak boleh ada kata rugi. Itu harga mati.
Anggarannya ratusan triliun. Uang yang begitu besar. Logikanya, kalau dana sebesar itu disuntikkan ke mana saja, pasti ekonomi bergerak.
Tapi kita ini bicara hukum.
Dasar hukum penggunaan APBN wajib kuat. Tertib. Transparan. Akuntabel. Itu tiga kata kunci yang tidak boleh digeser. Sama sekali.
Ketika dorongan “investasi” ini menguat, saya khawatir akuntabilitasnya merosot.
Kualitasnya menjadi nomor dua.
Keselamatan anak-anak menjadi nomor tiga.
Yang penting: Ekonomi bergerak.
Lalu, di mana posisi hukumnya?
Mari kita lihat fakta di lapangan.
Ada kasus keracunan di sana-sini. Berkali-kali.
Keracunan itu bukan urusan sepele. Dalam hukum, itu namanya kelalaian. Kelalaian negara dalam menjamin keamanan pangan yang didistribusikan itu Pidana.
Negara harusnya hadir sebagai penjamin mutu, terutama saat menyentuh nasib anak-anak.
Kalau kualitas dan higienitasnya jebol, lantas apa yang kita investasikan? Investasi Risiko kah? Sediakan asuransi?
Pernyataan “waktu tepat investasi” ini juga mengirimkan sinyal ambigu ke pasar. Investasi siapa yang dimaksud?
Apakah ini sinyal bahwa UMKM lokal yang harusnya digerakkan, justru akan dikalahkan oleh pemain besar yang punya modal dan akses lebih dekat ke pusat?
Inilah yang disebut potensi moral hazard.
UU Pengadaan Barang dan Jasa itu rumit. Sengaja dibuat rumit agar uang rakyat tidak bocor. Ketika ada sinyal untuk tancap gas demi menggerakkan ekonomi, muncul kekhawatiran: Apakah proses pengadaan itu masih akan ketat?
Atau jangan-jangan, dasar hukumnya dikesampingkan sedikit. Demi percepatan. Demi “investasi”.
Padahal, mempercepat belanja negara tidak boleh berarti mempercepat proses melanggar hukum. Itu fatal.
Sebuah program bernilai ratusan triliun harus dijalankan dengan elegan. Elegan dalam arti patuh hukum, efisien, dan efektif.
MBG harus kembali ke khitah-nya: Belanja Publik untuk SDM.
- Stop Narasi “Investasi”. Ganti dengan “Penjaminan Gizi”. Ini bukan bisnis, ini kewajiban negara.
- Perketat Pengawasan. Kasus keracunan harus diselesaikan di ranah hukum. Harus ada yang bertanggung jawab. Agar ini jadi pelajaran.
- Transparansi Total. Buka semua data pengadaan. Siapa yang dapat tender. Berapa harga pokoknya. Biar rakyat yang mengawasi.
Ekonomi boleh melambat. Tapi ketaatan pada hukum tidak boleh ikut melambat.
Jika kita ingin MBG menjadi pondasi Generasi Emas, fondasinya harus kuat. Bukan dari rupiah yang disuntikkan, tapi dari kepastian hukum yang dijamin.
Kalau dasarnya sudah goyah, mau seberapa cepat pun larinya, pasti akan limbung.
Itu pasti.
Tak ada gunanya kalau makanan bergizi (berasuransi) jika membuat anak kita mati.