SOUND OF BOROBUDUR: Ketika Batu Bisa Bicara dan Menggemakan Suara Jiwa


JANGAN KIRA BOROBUDUR CUMA UNTUK SELFIE

Kita sering sekali melihat Candi Borobudur hanya sebagai destinasi wisata kelas dunia. Tumpukan batu untuk berfoto, titik. Padahal, ada sekelompok orang “gila” yang menemukan rahasia di sana. Mereka bilang, Borobudur itu menyimpan sebuah orkestra berusia 13 abad. Bukan orkestra biasa. Ini adalah “bom waktu” budaya yang siap meledakkan peradaban musik Nusantara ke panggung dunia. Tapi yang paling ironis: seluruh proyek ambisius ini berjalan tanpa sokongan uang negara. Murni swadaya.

BATU ITU BUKAN BISU, IA HANYA MEMBEKU

Bapak/Ibu sekalian, Borobudur itu bukan batu mati. Saya melihatnya sebagai perpustakaan yang membeku. Ia menyimpan seluruh sistem pengetahuan tinggi peradaban kita di abad ke-8. Dan kejutan itu datang dari relief Karmawibhangga, relief di kaki candi yang tersembunyi.

Di sana ada instrumen musik yang sangat detail. Kecapi, harpa, seruling kuno, dan aneka gendang. Kenapa alat-alat sedetail ini tidak pernah kita bunyikan?

Itulah kegelisahan nurani yang melahirkan Sound of Borobudur (SOB).

Sosok sentralnya adalah Trie Utami. Seniman cerdas yang awalnya hanya ingin “pulang kampung” mencari arti dirinya. Ia lantas menjadi ujung tombak riset awal. Didukung Rully F. Baksh sebagai konseptor program.

Mereka bukan bekerja sendirian. Mereka adalah tim lintas disiplin, didukung arkeolog Dwi Cahyono untuk menamai ulang instrumen tersebut secara otentik.

KEKUATAN CINTA DAN HUKUM ADAT

Ini dia bagian yang paling “gila” dan membuat saya, sebagai ahli hukum, tergelitik.

SOB adalah gerakan yang sangat independen. Tidak didukung secara finansial oleh lembaga negara manapun. Tidak ada kucuran CSR besar. Murni kerja penuh kesadaran dan cinta. Seluruh kolaborator—musisi, akademisi—bekerja bukan sebagai profesional yang dibayar. Mereka pewaris yang sadar.

Dalam kacamata Hukum Adat, ini adalah penegasan tentang Kepemilikan Komunal. Borobudur bukan aset statis, tapi pusaka bangsa. Maka, membunyikannya adalah hak dan kewajiban kolektif, terlepas dari birokrasi.

SOB adalah Lokomotif musik yang super cepat. Relnya adalah sains dan teknologi. Gerbong-gerbongnya membawa isu budaya, keilmiahan, dan kebangsaan.

UNIVERSITAS BRAWIIJAYA SEBAGAI RUMAH

Siapa otak intelektualnya? Universitas Brawijaya (UB). UB menjadi rumah akademik bagi SOB. Di sana, gairah Trie Utami dan keahlian Dewa Budjana (sebagai penyihir harmoni modern) diolah menjadi riset yang kokoh. Komposisi musik pun dibangun dari fondasi keilmuan lintas disiplin, bukan sekadar ngamen.

SOB berani menolak absolutisme. Mereka bilang: Tidak ada hasil akhir. Tidak ada teori baku. Tidak ada kebenaran mutlak. Ini ruang terbuka yang dinamis, selaras dengan ilmu pengetahuan yang selalu menerima antitesis.

Mereka tahu, diplomasi budaya tidak cukup hanya dengan tari-tarian keliling dunia. Kita harus membunyikan peradaban kita. Borobudur harus berbunyi, dan dunia harus mendengarkan.

KITA ADA DI SPIRAL KEBUDAYAAN

Langkah SOB ini menempatkan Indonesia sejajar dengan peradaban besar lain. China, Jepang, Korea, dan India juga melakukan hal yang sama. Mereka melihat budaya sebagai sistem pengetahuan, bukan sekadar kesenian.

Maka, terciptalah spiral kebudayaan yang sehat:

  1. Kutub Traditif: Tuntutannya preservatif (melestarikan relief).
  2. Kutub Modern: Tindakannya progresif (mengamplifikasi relief menjadi orkestra modern).

Ini industri budaya sejati. Bukan sekadar jualan merchandise, tapi menjual narasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. SOB adalah cara Indonesia berbicara pada dunia tentang kedalaman peradabannya.

Sekarang, setelah Anda tahu ini semua. Apa yang Anda lakukan? Masih menunggu negara bertindak?

Ingatlah ideologi kerja SOB yang menampar kita keras-keras:

WARISAN ADALAH KATA KERJA.


#SoundofBorobudur #WarisanAdalahKataKerja #SpiralKebudayaan #Borobudur #MusikNusantara #RisetSeni #CulturalIndustry #UB #ethadisaputra

20251119 SOUND OF BOROBUDUR Ketika Batu Bisa Bicara dan Menggemakan Suara Jiwa – ET Hadi Saputra

Beda 10 Tahun Lipat 10 Kali: Malapetaka Hilangnya Batasan Harga

0

Kita memang bangsa yang senang serba fantastis. Angka fasilitas pejabat selalu melonjak tanpa permisi. Dulu ada batasan harga masuk akal. Sekarang tak masuk akal.

Lihat rumah pensiun: hadiah perpisahan negara untuk mantan presiden dan wakil presiden sebagai tanda terima kasih.

Dulu batas harga maksimal Rp20 miliar. Angka itu sudah besar untuk rumah layak di Jakarta, Bandung, atau mana pun. Mantan Presiden SBY dapat di Cikeas, 1.500 m². Soeharto konon tolak rumah, minta uang Rp20 miliar. Itu patokan tidak tertulis.

Itu satu dekade lalu.

Negeri Memberi Rumah vs. Negeri Memberi Dana

Di AS, Kanada, Eropa: mantan kepala negara dapat pensiun tahunan, pengamanan seumur hidup, biaya kantor, staf—dukungan untuk berkarya. Tapi rumah? Obama atau Bush kembali ke rumah pribadi atau beli sendiri. Negara tak belikan properti super-premium.

Indonesia unik: beri rumah hadiah. Megawati dan SBY pilih di Jakarta, luas 1.500 m², biaya arah Rp20 miliar.

Kini loncat jauh.

Lonjakan Tanpa Batas

Sekarang rumah pensiun Jokowi di Colomadu, Karanganyar: lahan 12.000 m² (1,2 hektar).

Bandingkan: SBY 1.500 m², Jokowi 12.000 m²—beda 8 kali lipat.

Harga tanah Rp10–15 juta/m². Minimum Rp10 juta: 12.000 × Rp10 juta = Rp120 miliar (tanah saja), 6 kali patokan lama.

Total taksiran Rp200 miliar (termasuk bangunan). Beda 10 tahun, lipat 10 kali.

Aturan Bermasalah

Lonjakan karena batas Rp20 miliar dihapus di PMK 120/PMK.06/2022. Kini batas luas tanah (1,5 ha Jakarta, 2 ha luar), bangunan 2.500 m²—tapi harga tak dibatasi. Negara bayar berapapun asal luas sesuai.

Pintu anggaran fantastis terbuka. Jokowi dikenal sederhana, bicara hemat—tapi rumah pensiunnya paling mahal sejarah.

Ini jarak antara ucapan dan realitas.

Rp20 miliar jadi Rp200 miliar bukan inflasi, tapi lonjakan kebablasan tanpa rem biaya. Kontras dengan negara fokus dukungan operasional.

Preseden bahaya: wakil presiden sekarang nanti pensiun pilih lokasi lebih mahal? Negara bayar berapa?

Rp200 miliar alarm: kehati-hatian anggaran pejabat tidur. Harus dibunyikan BPK dan DPR. Jangan jadi beban termahal rakyat karena aturan tanpa rem harga.

Beda 10 tahun lipat 10 kali. Cari tahu apa membuat harga melambung, selain tanah mahal.

Jebakan Data Pribadi Spesifik di Ruang Publik

    0

    ET Hadi Saputra, SH

    Jakarta 30 Oktober 2025. Kita berada dalam ilusi kebebasan berekspresi. Di era ‘Post-Privacy’ ini, gawai di tangan seolah memberikan kita mandat untuk merekam dan menyebarkan apa pun, di mana pun. Namun, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) hadir sebagai palu godam, menegaskan satu hal: wajah seseorang, meskipun terekam di sudut pasar yang paling ramai, adalah Data Pribadi Spesifik, dan Anda butuh Izin Eksplisit.

    Inilah titik terberat UU PDP: Wajah adalah data biometrik, dilindungi setara data sensitif. Pemrosesan data spesifik—mulai dari memotret hingga mengunggah—harus didasarkan pada persetujuan yang tegas, spesifik, dan dapat dibuktikan.

    Coba bayangkan: Sesi foto di reuni. Secara hukum, untuk membebaskan diri dari risiko, Anda idealnya harus meminta persetujuan setiap individu yang terekam, bukan sekadar asumsi “dia pasti setuju.” Logika hukum yang kaku ini seolah melumpuhkan spontanitas kehidupan sosial kita.

    Jalan Aman: Blur atau Mundur

    Karena hukum tidak memberikan toleransi yang jelas antara ‘fokus’ dan ‘latar belakang’, maka strategi mitigasi menjadi vital, terutama bagi mereka yang mencari keuntungan komersial (YouTuber, vlogger, akun bisnis):

    1. Jika Wajah itu Fokus: Izin Eksplisit adalah harga mati. Jika tidak didapat, wajib di-blur atau di-crop. Jangan pertaruhkan potensi tuntutan hukum demi satu frame yang jernih.
    2. Wajah Latar Belakang (Tidak Sengaja): Meskipun tidak sengaja, penyebarannya bisa melanggar Prinsip Pembatasan Tujuan. Solusi teraman: pelajari aplikasi blur wajah atau pilihlah lokasi pengambilan gambar yang ‘bersih’ dari orang lain. Sebelum mengunggah, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah orang yang terekam itu berpotensi dirugikan atau tidak nyaman?” Jika jawabannya ya, jangan diunggah.

    Ancaman Balik Maling: Dilema Hukum yang Konyol

    Ini ironi hukum yang paling pahit: ketika Anda menyebar video CCTV atau Dashcam maling untuk tujuan keadilan, Anda—sebagai individu yang menyebarkan—justru berpotensi melanggar hukum.

    Pasal 65 ayat (2) UU PDP melarang “secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.” Maling tetaplah Subjek Data yang memiliki hak atas data biometriknya. Jika penyebaran dilakukan di luar mekanisme penegakan hukum resmi, maling dapat menggugat Anda atas ganti rugi. Niat baik membantu penegakan hukum tidak lantas menghapus tanggung jawab Anda dalam melindungi data pribadi orang lain, sekotor apa pun perbuatannya.

    Realitas Kekuasaan: Jebakan Data Biometrik Korporasi

    Di sinilah letak anomali terbesar. Sementara individu harus berhati-hati saat mengunggah satu wajah, korporasi besar (seperti PT KAI, penyedia e-wallet, atau perbankan) secara masif mengumpulkan dan menyimpan data biometrik kita (sidik jari, face recognition) untuk memverifikasi transaksi atau akses layanan.

    Meskipun pengumpulan ini dibenarkan oleh kebutuhan layanan esensial atau kewajiban hukum, persetujuan yang kita berikan seringkali adalah ‘izin terpaksa’ (forced consent). Kita tidak punya pilihan selain memberikan data itu jika ingin menggunakan layanan. Ini adalah realitas kekuasaan dalam transaksi.

    Namun, forced consent TIDAK membebaskan korporasi dari dua kewajiban fundamental sebagai Pengendali Data:

    1. Kewajiban Pengamanan Data (Pasal 35): Mereka harus menjamin keamanan data biometrik itu dari kebocoran atau akses ilegal.
    2. Kewajiban Pertanggungjawaban (Accountability): Jika terjadi kebocoran—seperti yang sudah berulang kali dialami masyarakat—korporasi tersebut tetap bertanggung jawab penuh. Sanksi administratif berupa denda (hingga 2% dari pendapatan tahunan) hingga pencabutan izin usaha sudah menanti mereka. Ironisnya, individu yang datanya bocor selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, meski korporasi yang salah.

    Tanda Tangan, Ijazah, dan Jurnalistik

    Data lain seperti tanda tangan, nomor ijazah, atau data keuangan jelas berada pada level perlindungan tertinggi sebagai Data Pribadi Spesifik. Kelalaian dalam menyebarkan data-data ini akan berhadapan dengan sanksi terberat.

    Sementara itu, ketiadaan pengecualian eksplisit untuk kegiatan jurnalistik dalam UU PDP masih menjadi celah hukum. UU PDP berpotensi menjadi “senjata” yang membahayakan kebebasan pers, di mana kepentingan publik dapat dikalahkan oleh dalih perlindungan privasi, bahkan dalam kasus peliputan kejahatan.

    Sanksi yang Tidak Main-Main

    Konsekuensi pelanggaran UU PDP, terutama yang melibatkan Data Pribadi Spesifik (wajah/biometrik), bukanlah main-main. UU PDP mengancam individu yang menggunakan Data Pribadi orang lain secara melawan hukum dengan pidana penjara maksimum hingga 5 tahun dan denda hingga Rp 5 Miliar.

    Pada akhirnya, setiap individu kini adalah subjek hukum yang harus berpikir seperti pengacara sebelum menekan tombol upload. Di era UU PDP, ketenangan di media sosial hanya bisa didapatkan dengan satu cara: izin eksplisit atau mengaburkan wajah.

    Aturan Peralihan UUD 1945: Jembatan yang Terlalu Nyaman untuk Ditinggalkan

    0

    Beberapa hari lalu, di warung kopi langganan, seorang pengacara senior mengeluh, “Hukum di negeri ini seperti centang perenang, tidak beradat dan sekuler. Ini karena aturan peralihan UUD 1945 yang tak kunjung tuntas.”
    Keluhan ini mengingatkan saya pada keruwetan hukum sejak Orde Lama hingga Reformasi: ketidakpastian berusaha, banjir gugatan ke PTUN, hingga penegakan hukum yang menakutkan bagi masyarakat miskin. Benarkah akar masalahnya ada di aturan peralihan yang berusia lebih dari 80 tahun?

    Jembatan Bersejarah: Makna Aturan Peralihan

    Para pendiri bangsa memasukkan Aturan Peralihan ke UUD 1945 untuk mencegah kevakuman hukum saat negara baru lahir. Pasal-pasalnya singkat: PPKI mengatur transisi pemerintahan, peraturan kolonial tetap berlaku sementara, dan Presiden serta Wakil Presiden pertama dipilih oleh PPKI. Tujuannya jelas: menjembatani masa lalu dan masa depan, bukan untuk ditinggali permanen.

    Jembatan Diperbarui, Tapi Masih Transisional

    Pascareformasi, aturan peralihan diubah. PPKI tak lagi disebut, tapi peraturan lama tetap berlaku hingga ada yang baru, dan amanat membentuk Mahkamah Konstitusi muncul untuk transisi menuju demokrasi. Ironisnya, semangat transisi ini macet. Jembatan yang seharusnya dilewati justru menjadi tempat tinggal, dengan peraturan lama yang pengesahannya tertunda.

    Hukum Sekuler dan Tidak Beradat

    Hukum saat ini sekuler dan tidak beradat karena masih mengandalkan warisan Belanda, sesuai amanat aturan peralihan yang belum tuntas. Padahal, Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 29 UUD 1945 mengarahkan pada hukum adat dan agama. Langkah menuju sana pernah dimulai, seperti Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mempositifkan hukum Islam untuk pengadilan agama. Namun, transformasi serupa untuk hukum adat dan agama lain belum tuntas.

    Akar Masalah: Stagnasi dan Positivisme

    Menurut Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, hukum nasional kita bersifat positivistik: formal, sentralistik, dan tak mencerminkan hukum rakyat. Akibatnya, hukum kehilangan basis sosial, menjadi “gentayangan” tanpa nilai, dan menyengsarakan masyarakat. Contohnya, pencabutan 2.078 izin tambang oleh Presiden Jokowi menunjukkan konflik antara keadilan substantif dan kepastian hukum formal. Penundaan RUU KUHP karena kontroversi politik memperparah disharmoni ini.

    Potret Centang Perenang: Drama di Pengadilan

    Kesenjangan antara hukum teks (das sollen) dan praktik (das sein) terlihat di pengadilan. Hukum adat sering bertentangan dengan hukum formal yang kaku, seperti dalam sengketa tanah adat yang ditolak pengadilan negeri. Namun, ada pula putusan berani, seperti kasus penyelundupan imigran Rohingya di Aceh, yang mempertimbangkan falsafah adat. Ini menunjukkan perlunya integrasi hukum formal dan nilai masyarakat.

    Epilog: Meninggalkan Jembatan

    Amandemen UUD 1945 adalah langkah besar menuju demokrasi, tapi reformasi hukum masih jauh dari sempurna. Jembatan aturan peralihan, yang seharusnya sementara, menjadi tempat tinggal yang nyaman. Amanat sejati—membangun hukum nasional yang progresif, berkeadilan, dan berlandaskan Pancasila—belum terwujud. Saatnya kita menyeberang, meninggalkan stagnasi, dan membangun hukum yang kokoh untuk generasi mendatang.

    Pahitnya Whoosh: Tipuan Bunga dan B2B

    0

    Anda lihat Whoosh melaju. Keren, gagah, melesat 350 kilometer per jam. Kita bangga. Ada ‘kebanggaan nasional’di sana. Tapi, saya selalu percaya, kebanggaan sejati diukur dari ‘kekuatan dompet’dan ‘kejujuran janji’—bukan sekadar kecepatan kereta.
    Di balik kemewahan 142 kilometer jalur kereta cepat Jakarta-Bandung itu, tersembunyi borok yang menganga lebar dalam tata kelola kebijakan kita. Ini bukan sekadar missmanagement, ini adalah kegagalan sistemik menjaga amanah.
    Kegagalan Epik ‘Jurus B to B’: APBN Diseret Paksa
    Inti dari kebobrokan ini adalah janji politik yang dilanggar secara telanjang.
    Kita ingat betul saat Jepang membawa proposal bunga super-diskon (0,1% dengan term pinjaman 40 tahun), tapi menuntut jaminan negara (G2G).Pemerintah menolak tegas: “Proyek ini harus B2B murni. APBN haram disentuh.”
    Lalu, kita memilih Tiongkok karena janji B to B murni. Namun, janji itu adalah “gula-gula”di awal. Tiongkok memberikan pinjaman dengan ‘bunga ajaib’2% hingga 3,4% dari China Development Bank (CDB)—jauh lebih mencekik dibanding Jepang.
    Paradoks Fatal: Bunga Mahal + Jaminan Negara
    Ketika cost overrunterjadi dan membengkak hingga US$1,2 miliar(sekitar Rp 18 triliun), pemerintah justru melakukan manuver fatal:
    Suntikan PMN (Penyertaan Modal Negara):Janji itu ambruk. APBN resmi digunakan untuk menambah modal BUMN.
    Penjaminan Utang:Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memberikan ‘penjaminan pemerintah’atas pinjaman PT KAI untuk Whoosh.
    Kita menolak bunga 0,1% karena takut APBN terbebani. Tapi, kita menerima bunga mahal Tiongkok dan akhirnya tetap membebani APBN. Kita mendapat yang terburuk dari dua dunia. Jaksa Agung dan KPK seharusnya sudah turun tangan mengusut tuntas kebijakan berbiaya triliunanyang secara fundamental merugikan keuangan negara ini.
    Beban ‘Bom Waktu’ di Punggung BUMN
    Dampak terbesar dirasakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang dipaksa menjadi ‘tumbal’pemimpin konsorsium.
    KAI Jadi Korban ‘Subsidi Silang’ Paksa
    Bunga Mematikan: KAI harus menanggung utang pokok US$5,43 miliar. Beban bunga tahunannya saja diperkirakan Rp 1,9 triliun. Angka ini membuat keuangan KAI ‘berdarah-darah’sejak Whoosh beroperasi, karena pendapatan KCIC belum mampu menutup kewajiban ini. KAI mencatat kerugian di PSBI Rp 951 miliar di semester I-2025 saja!
    “Perampasan” Keuntungan Korporasi:Keuntungan bersih dari BUMN lain, seperti dividen dari perusahaan tambang, harus dialihkan untuk menopang KAI. Ini adalah ‘pembajakan keuntungan’yang merusak good corporate governance.
    Dana Cadangan (Sinking Fund):KAI bahkan harus menyisihkan dana sinking fund Rp 1,455 triliunper tahun sebagai ‘dana darurat’ yang sewaktu-waktu bisa ditarik jika Whoosh kepepet. Ini mengganggu fokus KAI pada pengembangan kereta konvensional.
    Retorika Pejabat: Lucu dan Sinis
    Menteri Keuangan saat ini boleh beretorika, “Jangan kalau enak swasta, kalau tidak enak government.”Mereka menolak APBN dipakai bayar utang Whoosh, menyarankan agar utang diurus oleh BUMN (Danantara) melalui dividen BUMN. Retorika ini sinis dan lucu. Sebab, pemerintah sendirilah yang membuat BUMN terperangkap dengan memberikan jaminan PMK dan suntikan PMN di awal. Pemerintah (baca: Luhut) tidak bisa ‘cuci tangan’sekarang.
    Ancaman ‘Jebakan Utang’ dan Kedaulatan Teknis
    Kontroversi Whoosh bukan hanya soal uang, tapi soal masa depan Indonesia.
    Jaminan Aset vs. Debt Trap
    Tingginya bunga dan skema pinjaman yang dirahasiakan membuat Indonesia masuk dalam risiko ‘Jebakan Utang’Tiongkok, seperti yang dialami Sri Lanka.
    Jika Whoosh kolaps atau KAI gagal bayar utang pokok/bunga:
    Aset Dijaminkan:Aset strategis Kereta Cepat berpotensi besar diambil alih, atau konsesi operasionalnya dikuasai penuh oleh Tiongkok, karena APBN adalah penjamin utama pinjaman.
    Kedaulatan Hilang:Kita kehilangan kontrol atas infrastruktur vital yang dibangun di atas tanah kita sendiri.
    Alih Teknologi: Sebuah ‘Hoax’ Strategis?
    Janji alih teknologi Tiongkok yang sempat menjadi poin pemenang kini masih menjadi pertanyaan besar. Tanpa transfer teknologi yang sukses, Indonesia hanya akan menjadi ‘konsumen mahal’yang terpaksa membayar Tiongkok untuk pemeliharaan, suku cadang, dan perbaikan Whoosh selama puluhan tahun ke depan—sebuah ‘penjajahan teknis’berbiaya mahal.
    Whoosh adalah Pilihan Kebijakan yang Keliru
    Whoosh adalah simbol dari ‘pilihan kebijakan yang salah kaprah’: mendahulukan ‘kemewahan'(kecepatan 350 km/jam di Jawa) di atas ‘kebutuhan dasar'(konektivitas logistik murah di luar Jawa).
    Rp 116 triliun itu adalah uang yang setara dengan membangun ribuan kilometer rel baru di Sumatera dan Sulawesi, memangkas biaya logistik nasional, dan mendorong pemerataan ekonomi sejati.
    Uang itu setara dengan bangun Jembatan Selat Sunda yang “menyatukan” Jawa dan Sumatra. Bayangkan harga sayur dari Lampung sama dengan Harga sayur dari Bogor-Cianjur di Jakarta. Alangkah senangnya.
    Pemerintah harus bertindak sekarang. Lakukan audit forensikterhadap cost overrun. Jika tidak, Whoosh yang kita banggakan akan menjadi:
    W arisan H utang O leh O rang S erakah H arta. 🤦‍♂
    Tegakkan hukum, batalkan jaminan APBN.Jangan jadikan Whoosh Woes (kesengsaraan) bagi generasi mendatang.

    MBG Bukan Investasi.

    0

    MBG. Makan Bergizi Gratis.
    Nama yang keren. Tujuannya mulia: Gizi untuk anak bangsa.
    Tapi sinyalemen Ekonomi RI diprediksi melambat diwarnai Luhut dengan bilang “Ini waktu tepat investasi di MBG.”
    Jebret.
    Saya mendadak harus menghela napas panjang. Bukan karena ekonominya melambat. Itu wajar. Dunia memang lagi gonjang-ganjing.
    Yang bikin saya harus seduh kopi secangkir lagi adalah narasi itu. Investasi.
    MBG itu kan program Negara yang didanai APBN. Uang rakyat. Fungsinya sosial. Untuk gizi.
    Ketika istilahnya digeser menjadi “investasi,” alarm bahaya hukum saya langsung bunyi. Kencang sekali.

    Bahaya dari Pergeseran Makna Kata:
    Investasi itu soal modal yang kembali. Soal untung. Belanja negara itu soal kewajiban. Soal melayani rakyat. Soal menyejahterakan.
    Kalau MBG disebut investasi, seolah-olah program gizi ini boleh rugi asal dampak ekonominyq besar. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak, tidak boleh ada kata rugi. Itu harga mati.
    Anggarannya ratusan triliun. Uang yang begitu besar. Logikanya, kalau dana sebesar itu disuntikkan ke mana saja, pasti ekonomi bergerak.
    Tapi kita ini bicara hukum.
    Dasar hukum penggunaan APBN wajib kuat. Tertib. Transparan. Akuntabel. Itu tiga kata kunci yang tidak boleh digeser. Sama sekali.
    Ketika dorongan “investasi” ini menguat, saya khawatir akuntabilitasnya merosot.
    Kualitasnya menjadi nomor dua.
    Keselamatan anak-anak menjadi nomor tiga.
    Yang penting: Ekonomi bergerak.
    Lalu, di mana posisi hukumnya?

    Mari kita lihat fakta di lapangan.
    Ada kasus keracunan di sana-sini. Berkali-kali.
    Keracunan itu bukan urusan sepele. Dalam hukum, itu namanya kelalaian. Kelalaian negara dalam menjamin keamanan pangan yang didistribusikan itu Pidana.
    Negara harusnya hadir sebagai penjamin mutu, terutama saat menyentuh nasib anak-anak.
    Kalau kualitas dan higienitasnya jebol, lantas apa yang kita investasikan? Investasi Risiko kah? Sediakan asuransi?
    Pernyataan “waktu tepat investasi” ini juga mengirimkan sinyal ambigu ke pasar. Investasi siapa yang dimaksud?
    Apakah ini sinyal bahwa UMKM lokal yang harusnya digerakkan, justru akan dikalahkan oleh pemain besar yang punya modal dan akses lebih dekat ke pusat?
    Inilah yang disebut potensi moral hazard.
    UU Pengadaan Barang dan Jasa itu rumit. Sengaja dibuat rumit agar uang rakyat tidak bocor. Ketika ada sinyal untuk tancap gas demi menggerakkan ekonomi, muncul kekhawatiran: Apakah proses pengadaan itu masih akan ketat?
    Atau jangan-jangan, dasar hukumnya dikesampingkan sedikit. Demi percepatan. Demi “investasi”.
    Padahal, mempercepat belanja negara tidak boleh berarti mempercepat proses melanggar hukum. Itu fatal.

    Sebuah program bernilai ratusan triliun harus dijalankan dengan elegan. Elegan dalam arti patuh hukum, efisien, dan efektif.
    MBG harus kembali ke khitah-nya: Belanja Publik untuk SDM.

    • Stop Narasi “Investasi”. Ganti dengan “Penjaminan Gizi”. Ini bukan bisnis, ini kewajiban negara.
    • Perketat Pengawasan. Kasus keracunan harus diselesaikan di ranah hukum. Harus ada yang bertanggung jawab. Agar ini jadi pelajaran.
    • Transparansi Total. Buka semua data pengadaan. Siapa yang dapat tender. Berapa harga pokoknya. Biar rakyat yang mengawasi.
      Ekonomi boleh melambat. Tapi ketaatan pada hukum tidak boleh ikut melambat.
      Jika kita ingin MBG menjadi pondasi Generasi Emas, fondasinya harus kuat. Bukan dari rupiah yang disuntikkan, tapi dari kepastian hukum yang dijamin.
      Kalau dasarnya sudah goyah, mau seberapa cepat pun larinya, pasti akan limbung.
      Itu pasti.

    Tak ada gunanya kalau makanan bergizi (berasuransi) jika membuat anak kita mati.

    Pensertifikatan Tanah: Repetisi Dosa Kolonial

    0

    Sejarah pensertifikatan tanah adalah tragedi yang berulang, bukan sebuah inisiatif mulia. Dosa pertama kali dicatatkan oleh Belanda melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Itu bukan aturan, tapi tiket bagi kapitalis Eropa. Mereka melahirkan Domeinverklaring—sebuah “pernyataan kepemilikan” ala penjajah—yang secara sepihak menetapkan: tanah yang tidak memiliki bukti Barat (Eigendom) otomatis menjadi domain negara.
    Matilah hak ulayat yang berbasis hukum adat tak tertulis!
    Tanah komunal kemudian disulap menjadi lahan Erfpacht (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan dan tambang, yang merampas kedaulatan masyarakat adat atas ruang hidupnya.

    Ironisnya, setelah merdeka, semangat perampasan ini seharusnya diputus tuntas oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal ini adalah janji suci kita: Negara wajib “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.” Jadi, sertifikasi seharusnya menjadi penobatan kedaulatan adat, bukan lagi alat penggusur.

    Kontradiksi UUPA: Ketika Mandat Negara Lebih Kuat dari Amanat Konstitusi
    Sayangnya, janji konstitusi seringkali tertinggal di pintu birokrasi. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, meski lahir dengan roh anti-kolonial, justru mengandung lubang besar yang berlawanan dengan semangat Pasal 18B ayat (2) UUD 45. Lubang itu bernama Hak Menguasai dari Negara (HMN), yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA. HMN adalah pedang bermata dua. Ia seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, tapi penafsiran dominannya kembali menyerupai Domeinverklaring modern. Negara menganggap tanah adat yang belum disertifikasi sebagai ‘tanah negara bebas’, lalu dengan mudah mengalokasikannya menjadi konsesi besar (HGU, HPL) kepada korporasi. Logikanya terbalik: bukannya negara yang harus membuktikan hak ulayat itu sudah punah, tapi masyarakat adat yang harus berdarah-darah membuktikan bahwa hak mereka “masih hidup” melalui proses birokrasi yang rumit. Inilah mengapa pensertifikatan masif seperti PTSL, dalam kasus-kasus konflik, justru dilihat sebagai legalisasi untuk merampas, menggeser hak komunal ke hak individual atau korporasi.

    Ancaman dari Balik Sertifikat
    Saat sertifikat dikeluarkan secara sistematis, tujuannya satu: kepastian hukum. Tapi kepastian hukum untuk siapa? Bagi masyarakat adat, sertifikat itu seringkali menjadi lonceng kematian. Mereka yang mempertahankan wilayahnya dengan sejarah dan adat, harus berhadapan dengan selembar kertas berharga yang sah secara hukum positif. Di sinilah letak ironi terbesar: sertifikasi yang seharusnya menjadi bagian dari Reforma Agraria dan pelaksana amanat UUD 45, justru menjadi pemicu konflik struktural. Ia memfasilitasi pengalihan tanah dari penguasaan kolektif tradisional menjadi modal yang bisa diagunkan dan diperjualbelikan, sesuai kepentingan pasar.
    Intinya, jika program pensertifikatan tidak didahului dengan penegasan dan pengakuan wilayah adat—sesuai perintah konstitusi—maka ia bukan sedang membangun kepastian hukum, melainkan sedang mereproduksi ketidakadilan agraria yang diwariskan oleh Belanda.

    Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

    0

    Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

    Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

    Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

    1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
    2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
    3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
    4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

    Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

    Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

    1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

    Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

    Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
    Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
    Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

    1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

    Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

    Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
    Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
    Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.

    Daniella Weiss: “Ibu Baptis” yang Menari di Atas Kuburan Hukum Internasional

    0

    Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.

    Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.


    Hukum Adalah Kain Kafan

    Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.

    Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.

    Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?


    Eksklusivitas vs. Kemanusiaan

    Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.

    Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”

    Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.

    Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.


    Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”

    Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.

    Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.

    Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.

    Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.

    Tukang Kritik

    0

    Sudah terlalu banyak kita punya tukang kritik. Mereka rajin. Pagi, siang, malam. Media sosial dipenuhi suara-suara sumbang, keluhan yang itu-itu saja, atau analisis sepotong yang tidak tuntas.

    Mereka merasa sudah berkontribusi besar hanya karena berhasil menunjuk satu lubang kecil di kapal besar. Hebat? Tidak. Itu mudah sekali. Semua orang bisa.

    Kecerdasan sejati itu bukan soal kecepatan mengkritik. Bukan soal jari yang lincah mengetik cercaan di kolom komentar.

    Kecerdasan sejati adalah kemampuan untuk MENULIS.

    Menulis berarti Anda telah melalui proses yang panjang:

    Melihat (bukan sekadar menengok).

    Mencerna (bukan sekadar menelan mentah-mentah).

    Merumuskan solusi (bukan sekadar masalah).

    Dan yang paling penting, MENUANGKANNYA!

    Sebab, gagasan yang tidak tertulis, itu sama saja dengan mimpi di siang bolong. Menguap. Hilang.

    Dan puncaknya, ketika Anda mampu menulis secara KOMPREHENSIF. Artinya, tulisan Anda tidak hanya kritik pedas, tapi juga kritik yang cerdas, yang menawarkan alternatif, yang membuka jendela baru. Ada benang merah yang kuat, dari awal masalah sampai potensi penyelesaian.

    Berhenti jadi penonton yang rewel. Mulailah jadi pemain yang berpikir keras.

    Latih jari Anda untuk menulis, bukan hanya menuding. Latih otak Anda untuk mencipta, bukan hanya mencela.

    Sebarkan kalau Anda setuju! 🙏👍

    MUST READ

    Sistem Hukum yang Bernama “Indonesia”

    0
    Anda tahu, kita ini bagaikan sebuah orkestra besar. Setiap alat musik punya suaranya sendiri. Biola beda dengan cello. Flute beda dengan drum. Kalau semua...

    Denny JA Bicara Apaan?

    Bandung

    MBG Bukan Investasi.