Denny JA Bicara Apaan?

Saya sangat tidak suka koruptor, saya ET Hadi Saputra memang cenderung menghindari mengomentari apalagi pendampingi kasus pidana tapi tulisan provokatif Denny JA yang beredar di WhatsApp berjudul “Belajar dari Kasus Nadiem Makarim: Inovator dalam Jeratan Hukum” harus saya kritik:

  1. Inkonsistensi dengan Prinsip Praduga Tak Bersalah
    Denny JA mengawali tulisan dengan menyebut “asas praduga tak bersalah”, tetapi esainya justru menyudutkan Nadiem Makarim secara implisit, misalnya dengan istilah “terjerembab oleh birokrasi” atau membandingkannya dengan Eike Batista yang sudah divonis korupsi. Ini kontradiktif dan dapat membentuk opini bahwa Nadiem bersalah meski proses hukum masih berlangsung.
  2. Analisis Simplistis dan Menggeneralisasi
    Denny JA menyederhanakan korupsi sebagai benturan “inovator vs birokrasi” atau “godaan korporasi global”. Padahal, korupsi kompleks, melibatkan sistem pengadaan lemah, politik uang, dan kooptasi kekuasaan. Penyederhanaan ini mengaburkan akar masalah dan meromantisasi inovator sebagai korban.
  3. Analogi Tidak Relevan
    Membandingkan Nadiem (masih tersangka) dengan Eike Batista (sudah divonis korupsi) tidak etis dan menyesatkan, menciptakan stigma negatif tanpa dasar hukum kuat.
  4. Solusi Klise dan Tidak Konkret
    Solusi seperti “transparansi digital”, “open data”, dan “blockchain” disebut tanpa penjelasan implementasi di Indonesia. Mencontoh Estonia tanpa mempertimbangkan perbedaan konteks geopolitik, budaya hukum, dan infrastruktur digital terkesan naif.
  5. Mengabaikan Konteks Politik dan Kekuasaan
    Tulisan tidak membahas dinamika kekuasaan atau kepentingan politik di balik status tersangka Nadiem, padahal ini relevan untuk analisis mendalam.
  6. Kurangnya Perspektif Hukum
    Meski kasus ini bersifat hukum, tulisan minim analisis hukum, seperti apakah indikasi korupsi pengadaan Chromebook memenuhi unsur pidana atau prosedur penyidikan. Fokusnya justru pada narasi dramatis “inovator yang jatuh”.
  7. Nada Sensasional
    Bahasa bombastis, seperti “sorot lampu menimpa simbol harapan generasi baru”, cenderung sensasional, mengurangi kredibilitas esai sebagai analisis objektif.
  8. Bias karena Tidak Menyertakan Pembelaan
    Tulisan hanya mengacu pada perspektif kejaksaan dan opini publik, tanpa sudut pandang Nadiem, menunjukkan bias jelas.
  9. Referensi Usang dan Tidak Spesifik
    Referensi klasik (Rose-Ackerman, 1999; Fukuyama, 2014) digunakan tanpa sumber terkini atau primer, seperti dokumen hukum atau wawancara.
  10. Kesimpulan Ambigu
    Kesimpulan klise, “dunia butuh sistem kokoh, bukan pahlawan instan”, tidak menjelaskan cara membangun sistem tersebut di Indonesia, sehingga normatif dan tidak actionable.

Tulisan Denny JA tentang kasus Nadiem Makarim terburu-buru, tidak seimbang, dan sensasional. Alih-alih analisis mendalam, esai ini mengaburkan fakta hukum dengan narasi “inovator vs birokrasi”. Sebagai intelektual publik, Denny JA seharusnya menyajikan analisis objektif, berimbang, dan mendalam, terutama pada kasus yang masih dalam proses hukum.