Featured

Jebakan Data Pribadi Spesifik di Ruang Publik

    0

    ET Hadi Saputra, SH

    Jakarta 30 Oktober 2025. Kita berada dalam ilusi kebebasan berekspresi. Di era ‘Post-Privacy’ ini, gawai di tangan seolah memberikan kita mandat untuk merekam dan menyebarkan apa pun, di mana pun. Namun, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) hadir sebagai palu godam, menegaskan satu hal: wajah seseorang, meskipun terekam di sudut pasar yang paling ramai, adalah Data Pribadi Spesifik, dan Anda butuh Izin Eksplisit.

    Inilah titik terberat UU PDP: Wajah adalah data biometrik, dilindungi setara data sensitif. Pemrosesan data spesifik—mulai dari memotret hingga mengunggah—harus didasarkan pada persetujuan yang tegas, spesifik, dan dapat dibuktikan.

    Coba bayangkan: Sesi foto di reuni. Secara hukum, untuk membebaskan diri dari risiko, Anda idealnya harus meminta persetujuan setiap individu yang terekam, bukan sekadar asumsi “dia pasti setuju.” Logika hukum yang kaku ini seolah melumpuhkan spontanitas kehidupan sosial kita.

    Jalan Aman: Blur atau Mundur

    Karena hukum tidak memberikan toleransi yang jelas antara ‘fokus’ dan ‘latar belakang’, maka strategi mitigasi menjadi vital, terutama bagi mereka yang mencari keuntungan komersial (YouTuber, vlogger, akun bisnis):

    1. Jika Wajah itu Fokus: Izin Eksplisit adalah harga mati. Jika tidak didapat, wajib di-blur atau di-crop. Jangan pertaruhkan potensi tuntutan hukum demi satu frame yang jernih.
    2. Wajah Latar Belakang (Tidak Sengaja): Meskipun tidak sengaja, penyebarannya bisa melanggar Prinsip Pembatasan Tujuan. Solusi teraman: pelajari aplikasi blur wajah atau pilihlah lokasi pengambilan gambar yang ‘bersih’ dari orang lain. Sebelum mengunggah, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah orang yang terekam itu berpotensi dirugikan atau tidak nyaman?” Jika jawabannya ya, jangan diunggah.

    Ancaman Balik Maling: Dilema Hukum yang Konyol

    Ini ironi hukum yang paling pahit: ketika Anda menyebar video CCTV atau Dashcam maling untuk tujuan keadilan, Anda—sebagai individu yang menyebarkan—justru berpotensi melanggar hukum.

    Pasal 65 ayat (2) UU PDP melarang “secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.” Maling tetaplah Subjek Data yang memiliki hak atas data biometriknya. Jika penyebaran dilakukan di luar mekanisme penegakan hukum resmi, maling dapat menggugat Anda atas ganti rugi. Niat baik membantu penegakan hukum tidak lantas menghapus tanggung jawab Anda dalam melindungi data pribadi orang lain, sekotor apa pun perbuatannya.

    Realitas Kekuasaan: Jebakan Data Biometrik Korporasi

    Di sinilah letak anomali terbesar. Sementara individu harus berhati-hati saat mengunggah satu wajah, korporasi besar (seperti PT KAI, penyedia e-wallet, atau perbankan) secara masif mengumpulkan dan menyimpan data biometrik kita (sidik jari, face recognition) untuk memverifikasi transaksi atau akses layanan.

    Meskipun pengumpulan ini dibenarkan oleh kebutuhan layanan esensial atau kewajiban hukum, persetujuan yang kita berikan seringkali adalah ‘izin terpaksa’ (forced consent). Kita tidak punya pilihan selain memberikan data itu jika ingin menggunakan layanan. Ini adalah realitas kekuasaan dalam transaksi.

    Namun, forced consent TIDAK membebaskan korporasi dari dua kewajiban fundamental sebagai Pengendali Data:

    1. Kewajiban Pengamanan Data (Pasal 35): Mereka harus menjamin keamanan data biometrik itu dari kebocoran atau akses ilegal.
    2. Kewajiban Pertanggungjawaban (Accountability): Jika terjadi kebocoran—seperti yang sudah berulang kali dialami masyarakat—korporasi tersebut tetap bertanggung jawab penuh. Sanksi administratif berupa denda (hingga 2% dari pendapatan tahunan) hingga pencabutan izin usaha sudah menanti mereka. Ironisnya, individu yang datanya bocor selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, meski korporasi yang salah.

    Tanda Tangan, Ijazah, dan Jurnalistik

    Data lain seperti tanda tangan, nomor ijazah, atau data keuangan jelas berada pada level perlindungan tertinggi sebagai Data Pribadi Spesifik. Kelalaian dalam menyebarkan data-data ini akan berhadapan dengan sanksi terberat.

    Sementara itu, ketiadaan pengecualian eksplisit untuk kegiatan jurnalistik dalam UU PDP masih menjadi celah hukum. UU PDP berpotensi menjadi “senjata” yang membahayakan kebebasan pers, di mana kepentingan publik dapat dikalahkan oleh dalih perlindungan privasi, bahkan dalam kasus peliputan kejahatan.

    Sanksi yang Tidak Main-Main

    Konsekuensi pelanggaran UU PDP, terutama yang melibatkan Data Pribadi Spesifik (wajah/biometrik), bukanlah main-main. UU PDP mengancam individu yang menggunakan Data Pribadi orang lain secara melawan hukum dengan pidana penjara maksimum hingga 5 tahun dan denda hingga Rp 5 Miliar.

    Pada akhirnya, setiap individu kini adalah subjek hukum yang harus berpikir seperti pengacara sebelum menekan tombol upload. Di era UU PDP, ketenangan di media sosial hanya bisa didapatkan dengan satu cara: izin eksplisit atau mengaburkan wajah.

    Pensertifikatan Tanah: Repetisi Dosa Kolonial

    0

    Sejarah pensertifikatan tanah adalah tragedi yang berulang, bukan sebuah inisiatif mulia. Dosa pertama kali dicatatkan oleh Belanda melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Itu bukan aturan, tapi tiket bagi kapitalis Eropa. Mereka melahirkan Domeinverklaring—sebuah “pernyataan kepemilikan” ala penjajah—yang secara sepihak menetapkan: tanah yang tidak memiliki bukti Barat (Eigendom) otomatis menjadi domain negara.
    Matilah hak ulayat yang berbasis hukum adat tak tertulis!
    Tanah komunal kemudian disulap menjadi lahan Erfpacht (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan dan tambang, yang merampas kedaulatan masyarakat adat atas ruang hidupnya.

    Ironisnya, setelah merdeka, semangat perampasan ini seharusnya diputus tuntas oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal ini adalah janji suci kita: Negara wajib “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.” Jadi, sertifikasi seharusnya menjadi penobatan kedaulatan adat, bukan lagi alat penggusur.

    Kontradiksi UUPA: Ketika Mandat Negara Lebih Kuat dari Amanat Konstitusi
    Sayangnya, janji konstitusi seringkali tertinggal di pintu birokrasi. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, meski lahir dengan roh anti-kolonial, justru mengandung lubang besar yang berlawanan dengan semangat Pasal 18B ayat (2) UUD 45. Lubang itu bernama Hak Menguasai dari Negara (HMN), yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA. HMN adalah pedang bermata dua. Ia seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, tapi penafsiran dominannya kembali menyerupai Domeinverklaring modern. Negara menganggap tanah adat yang belum disertifikasi sebagai ‘tanah negara bebas’, lalu dengan mudah mengalokasikannya menjadi konsesi besar (HGU, HPL) kepada korporasi. Logikanya terbalik: bukannya negara yang harus membuktikan hak ulayat itu sudah punah, tapi masyarakat adat yang harus berdarah-darah membuktikan bahwa hak mereka “masih hidup” melalui proses birokrasi yang rumit. Inilah mengapa pensertifikatan masif seperti PTSL, dalam kasus-kasus konflik, justru dilihat sebagai legalisasi untuk merampas, menggeser hak komunal ke hak individual atau korporasi.

    Ancaman dari Balik Sertifikat
    Saat sertifikat dikeluarkan secara sistematis, tujuannya satu: kepastian hukum. Tapi kepastian hukum untuk siapa? Bagi masyarakat adat, sertifikat itu seringkali menjadi lonceng kematian. Mereka yang mempertahankan wilayahnya dengan sejarah dan adat, harus berhadapan dengan selembar kertas berharga yang sah secara hukum positif. Di sinilah letak ironi terbesar: sertifikasi yang seharusnya menjadi bagian dari Reforma Agraria dan pelaksana amanat UUD 45, justru menjadi pemicu konflik struktural. Ia memfasilitasi pengalihan tanah dari penguasaan kolektif tradisional menjadi modal yang bisa diagunkan dan diperjualbelikan, sesuai kepentingan pasar.
    Intinya, jika program pensertifikatan tidak didahului dengan penegasan dan pengakuan wilayah adat—sesuai perintah konstitusi—maka ia bukan sedang membangun kepastian hukum, melainkan sedang mereproduksi ketidakadilan agraria yang diwariskan oleh Belanda.

    Pahitnya Whoosh: Tipuan Bunga dan B2B

    0

    Anda lihat Whoosh melaju. Keren, gagah, melesat 350 kilometer per jam. Kita bangga. Ada ‘kebanggaan nasional’di sana. Tapi, saya selalu percaya, kebanggaan sejati diukur dari ‘kekuatan dompet’dan ‘kejujuran janji’—bukan sekadar kecepatan kereta.
    Di balik kemewahan 142 kilometer jalur kereta cepat Jakarta-Bandung itu, tersembunyi borok yang menganga lebar dalam tata kelola kebijakan kita. Ini bukan sekadar missmanagement, ini adalah kegagalan sistemik menjaga amanah.
    Kegagalan Epik ‘Jurus B to B’: APBN Diseret Paksa
    Inti dari kebobrokan ini adalah janji politik yang dilanggar secara telanjang.
    Kita ingat betul saat Jepang membawa proposal bunga super-diskon (0,1% dengan term pinjaman 40 tahun), tapi menuntut jaminan negara (G2G).Pemerintah menolak tegas: “Proyek ini harus B2B murni. APBN haram disentuh.”
    Lalu, kita memilih Tiongkok karena janji B to B murni. Namun, janji itu adalah “gula-gula”di awal. Tiongkok memberikan pinjaman dengan ‘bunga ajaib’2% hingga 3,4% dari China Development Bank (CDB)—jauh lebih mencekik dibanding Jepang.
    Paradoks Fatal: Bunga Mahal + Jaminan Negara
    Ketika cost overrunterjadi dan membengkak hingga US$1,2 miliar(sekitar Rp 18 triliun), pemerintah justru melakukan manuver fatal:
    Suntikan PMN (Penyertaan Modal Negara):Janji itu ambruk. APBN resmi digunakan untuk menambah modal BUMN.
    Penjaminan Utang:Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memberikan ‘penjaminan pemerintah’atas pinjaman PT KAI untuk Whoosh.
    Kita menolak bunga 0,1% karena takut APBN terbebani. Tapi, kita menerima bunga mahal Tiongkok dan akhirnya tetap membebani APBN. Kita mendapat yang terburuk dari dua dunia. Jaksa Agung dan KPK seharusnya sudah turun tangan mengusut tuntas kebijakan berbiaya triliunanyang secara fundamental merugikan keuangan negara ini.
    Beban ‘Bom Waktu’ di Punggung BUMN
    Dampak terbesar dirasakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang dipaksa menjadi ‘tumbal’pemimpin konsorsium.
    KAI Jadi Korban ‘Subsidi Silang’ Paksa
    Bunga Mematikan: KAI harus menanggung utang pokok US$5,43 miliar. Beban bunga tahunannya saja diperkirakan Rp 1,9 triliun. Angka ini membuat keuangan KAI ‘berdarah-darah’sejak Whoosh beroperasi, karena pendapatan KCIC belum mampu menutup kewajiban ini. KAI mencatat kerugian di PSBI Rp 951 miliar di semester I-2025 saja!
    “Perampasan” Keuntungan Korporasi:Keuntungan bersih dari BUMN lain, seperti dividen dari perusahaan tambang, harus dialihkan untuk menopang KAI. Ini adalah ‘pembajakan keuntungan’yang merusak good corporate governance.
    Dana Cadangan (Sinking Fund):KAI bahkan harus menyisihkan dana sinking fund Rp 1,455 triliunper tahun sebagai ‘dana darurat’ yang sewaktu-waktu bisa ditarik jika Whoosh kepepet. Ini mengganggu fokus KAI pada pengembangan kereta konvensional.
    Retorika Pejabat: Lucu dan Sinis
    Menteri Keuangan saat ini boleh beretorika, “Jangan kalau enak swasta, kalau tidak enak government.”Mereka menolak APBN dipakai bayar utang Whoosh, menyarankan agar utang diurus oleh BUMN (Danantara) melalui dividen BUMN. Retorika ini sinis dan lucu. Sebab, pemerintah sendirilah yang membuat BUMN terperangkap dengan memberikan jaminan PMK dan suntikan PMN di awal. Pemerintah (baca: Luhut) tidak bisa ‘cuci tangan’sekarang.
    Ancaman ‘Jebakan Utang’ dan Kedaulatan Teknis
    Kontroversi Whoosh bukan hanya soal uang, tapi soal masa depan Indonesia.
    Jaminan Aset vs. Debt Trap
    Tingginya bunga dan skema pinjaman yang dirahasiakan membuat Indonesia masuk dalam risiko ‘Jebakan Utang’Tiongkok, seperti yang dialami Sri Lanka.
    Jika Whoosh kolaps atau KAI gagal bayar utang pokok/bunga:
    Aset Dijaminkan:Aset strategis Kereta Cepat berpotensi besar diambil alih, atau konsesi operasionalnya dikuasai penuh oleh Tiongkok, karena APBN adalah penjamin utama pinjaman.
    Kedaulatan Hilang:Kita kehilangan kontrol atas infrastruktur vital yang dibangun di atas tanah kita sendiri.
    Alih Teknologi: Sebuah ‘Hoax’ Strategis?
    Janji alih teknologi Tiongkok yang sempat menjadi poin pemenang kini masih menjadi pertanyaan besar. Tanpa transfer teknologi yang sukses, Indonesia hanya akan menjadi ‘konsumen mahal’yang terpaksa membayar Tiongkok untuk pemeliharaan, suku cadang, dan perbaikan Whoosh selama puluhan tahun ke depan—sebuah ‘penjajahan teknis’berbiaya mahal.
    Whoosh adalah Pilihan Kebijakan yang Keliru
    Whoosh adalah simbol dari ‘pilihan kebijakan yang salah kaprah’: mendahulukan ‘kemewahan'(kecepatan 350 km/jam di Jawa) di atas ‘kebutuhan dasar'(konektivitas logistik murah di luar Jawa).
    Rp 116 triliun itu adalah uang yang setara dengan membangun ribuan kilometer rel baru di Sumatera dan Sulawesi, memangkas biaya logistik nasional, dan mendorong pemerataan ekonomi sejati.
    Uang itu setara dengan bangun Jembatan Selat Sunda yang “menyatukan” Jawa dan Sumatra. Bayangkan harga sayur dari Lampung sama dengan Harga sayur dari Bogor-Cianjur di Jakarta. Alangkah senangnya.
    Pemerintah harus bertindak sekarang. Lakukan audit forensikterhadap cost overrun. Jika tidak, Whoosh yang kita banggakan akan menjadi:
    W arisan H utang O leh O rang S erakah H arta. 🤦‍♂
    Tegakkan hukum, batalkan jaminan APBN.Jangan jadikan Whoosh Woes (kesengsaraan) bagi generasi mendatang.

    Tukang Kritik

    0

    Sudah terlalu banyak kita punya tukang kritik. Mereka rajin. Pagi, siang, malam. Media sosial dipenuhi suara-suara sumbang, keluhan yang itu-itu saja, atau analisis sepotong yang tidak tuntas.

    Mereka merasa sudah berkontribusi besar hanya karena berhasil menunjuk satu lubang kecil di kapal besar. Hebat? Tidak. Itu mudah sekali. Semua orang bisa.

    Kecerdasan sejati itu bukan soal kecepatan mengkritik. Bukan soal jari yang lincah mengetik cercaan di kolom komentar.

    Kecerdasan sejati adalah kemampuan untuk MENULIS.

    Menulis berarti Anda telah melalui proses yang panjang:

    Melihat (bukan sekadar menengok).

    Mencerna (bukan sekadar menelan mentah-mentah).

    Merumuskan solusi (bukan sekadar masalah).

    Dan yang paling penting, MENUANGKANNYA!

    Sebab, gagasan yang tidak tertulis, itu sama saja dengan mimpi di siang bolong. Menguap. Hilang.

    Dan puncaknya, ketika Anda mampu menulis secara KOMPREHENSIF. Artinya, tulisan Anda tidak hanya kritik pedas, tapi juga kritik yang cerdas, yang menawarkan alternatif, yang membuka jendela baru. Ada benang merah yang kuat, dari awal masalah sampai potensi penyelesaian.

    Berhenti jadi penonton yang rewel. Mulailah jadi pemain yang berpikir keras.

    Latih jari Anda untuk menulis, bukan hanya menuding. Latih otak Anda untuk mencipta, bukan hanya mencela.

    Sebarkan kalau Anda setuju! 🙏👍

    MUST READ

    Bandung

    0
    Suasana Kota Bandung Tahun 1990 Pada tahun 1990, suasana Kota Bandung masih terasa asri. Jalan-jalan protokol relatif sepi, dan angkutan kota masih menjadi ciri...

    Tukang Kritik

    Jam Gadang at Night