
Anda tahu, kita ini bagaikan sebuah orkestra besar. Setiap alat musik punya suaranya sendiri. Biola beda dengan cello. Flute beda dengan drum. Kalau semua dipaksa bersuara sama, tidak akan ada harmoni. Yang ada hanya kebisingan.
Begitulah cara saya melihat hukum di Indonesia.
Bukan menyatukan semua suara menjadi satu. Bukan melebur hukum adat, hukum agama, dan hukum negara menjadi satu ramuan tunggal. Tidak. Itu sama saja mematikan keberagaman kita. Mematikan kekayaan kita.
Cita-cita kemerdekaan kita adalah sebuah orkestra. Di mana setiap alat musik bisa bersuara merdu. Di mana setiap hukum bisa hidup dan bernafas di wilayahnya sendiri.
Biarkan Mereka Hidup
Coba bayangkan. Sebuah desa di Bali. Di sana, hukum adat Subak mengatur pembagian air. Itu bukan hanya soal air, tapi soal keadilan. Soal persaudaraan. Itu sudah terbukti ampuh selama ratusan tahun. Apakah kita perlu menggantinya dengan undang-undang dari Jakarta? Tentu tidak.
Lalu, di sebuah pesantren di Jawa. Para santri hidup dengan aturan yang berdasar pada hukum Islam. Mereka saling menghormati. Saling membantu. Mereka punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Mereka tidak perlu diatur oleh hukum pidana yang kaku.
Dua sistem hukum ini — hukum adat dan hukum agama — adalah solusi bagi masyarakatnya. Mereka sudah terbukti ampuh. Terbukti relevan.
Maka, biarkan mereka hidup. Biarkan mereka berdenyut. Biarkan mereka menjadi solusi. Di dalam wilayahnya masing-masing. Di dalam komunitasnya masing-masing.
Payung Besar Bernama Negara
Tapi, bagaimana jika ada masalah antar-komunitas?
Misalnya, seorang pengusaha dari Jakarta, yang tunduk pada hukum negara, bersengketa dengan masyarakat adat di Papua tentang tanah. Hukum adatnya bilang tanah itu milik bersama. Hukum negaranya bilang tanah itu bisa dibeli dan dimiliki.
Di sinilah peran UUD 1945. Di sinilah peran negara.
Negara bukan pemaksa. Bukan pelebur. Negara adalah wasit. Negara adalah payung.
Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui hukum adat. Mengakui hak-hak tradisional. Itu artinya, saat ada sengketa, negara harus melihat hukum adat sebagai hukum yang sah.
Negara harus duduk bersama. Musyawarah. Mencari solusi yang adil. Yang sesuai dengan nilai-nilai adat. Sesuai dengan nilai-nilai agama. Dan tentu saja, sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan kita.
Harmoni dalam Keberagaman
Jadi, sistem hukum kita bukan sistem yang monolitik. Bukan sistem yang seragam. Tapi sistem yang pluralis. Yang mengakui keberagaman. Yang menghormati perbedaan.
Hukum adat hidup di wilayahnya.
Hukum agama hidup di komunitasnya.
Dan hukum negara menjadi payung yang mengayomi semuanya. Yang mengatasi masalah di antara mereka.
Ini adalah cita-cita kemerdekaan kita. Keluar dari sistem hukum sekuler yang seragam dan kering. Masuk ke dalam sistem hukum yang kaya. Yang berdarah daging. Yang berjiwa Indonesia.
Orkestra kita sudah lengkap. Setiap alat musik sudah punya tempatnya. Sekarang tinggal bagaimana kita memainkannya dengan indah. Agar lahir sebuah harmoni. Sebuah simfoni yang bernama Indonesia.
Apakah menurut Anda sistem hukum seperti ini bisa menyelesaikan masalah korupsi yang masif?