Australia-PNG (Perjanjian Pukpuk)

Australia dan Papua Nugini (PNG) telah mengukuhkan ikatan historis mereka dengan penandatanganan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik, yang secara tidak resmi dikenal sebagai Perjanjian Pukpuk (Buaya). Perjanjian ini mewakili langkah diplomatik dan strategis paling signifikan di Pasifik Selatan dalam beberapa dekade, secara fundamental mengubah dinamika keamanan regional dan menimbulkan riak geopolitik hingga ke Asia Tenggara.

Pilar Utama Perjanjian Pukpuk

Perjanjian Pukpuk bukanlah sekadar perjanjian kerja sama pertahanan biasa; ini adalah aliansi pertahanan timbal balik pertama bagi PNG dan aliansi formal pertama Australia sejak Perjanjian ANZUS tahun 1951. Inti dari pakta ini adalah komitmen strategis yang mendalam:

  1. Kewajiban Pertahanan Timbal Balik: Kedua negara mengakui bahwa serangan bersenjata terhadap salah satu pihak merupakan bahaya bagi perdamaian dan keamanan keduanya, dan mereka berjanji untuk “bertindak bersama untuk menghadapi bahaya bersama.” Hal ini secara efektif menciptakan payung keamanan bersama.
  2. Integrasi dan Interoperabilitas Militer: Perjanjian ini menyediakan kerangka kerja untuk modernisasi dan integrasi pasukan pertahanan. Ini mencakup pelatihan militer gabungan tahunan yang diperluas, berbagi intelijen yang lebih dalam, dan perluasan kerja sama ke domain baru seperti keamanan siber dan pengawasan maritim.
  3. Jalur Rekrutmen dan Kewarganegaraan: Salah satu aspek yang paling unik adalah pembukaan jalur bagi warga negara PNG untuk mendaftar dan bertugas di Angkatan Pertahanan Australia (ADF), dengan potensi untuk mengajukan kewarganegaraan Australia setelah periode dinas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam hubungan antarmasyarakat dan kemampuan militer.
  4. Penghormatan Kedaulatan: Perjanjian ini secara eksplisit menegaskan kembali penghormatan penuh terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial satu sama lain, sebuah poin penting bagi PNG yang ingin memastikan bahwa aliansi tersebut memperkuat kedaulatan negaranya, bukan melemahkannya.

Geopolitik: Efek Domino di Oseania dan ASEAN

Perjanjian Pukpuk lahir dari meningkatnya persaingan geopolitik di Indo-Pasifik, terutama dengan peningkatan kehadiran dan pengaruh Tiongkok di Pasifik. Efeknya terasa di dua kawasan utama: Oseania dan Asia Tenggara (ASEAN).

  1. Dampak di Oseania: Mengukuhkan Pimpinan Australia

Di Pasifik Selatan, perjanjian ini memperkuat arsitektur keamanan yang dipimpin oleh Australia, yang memiliki implikasi sebagai berikut:

Pilihan Mitra Keamanan: Perjanjian ini mengukuhkan Australia sebagai “mitra keamanan pilihan” utama PNG dan kawasan Pasifik yang lebih luas. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang langsung terhadap upaya Tiongkok untuk menjalin perjanjian keamanan dengan negara-negara Pasifik, seperti Kepulauan Solomon.
Peningkatan Kapabilitas Regional: Investasi Australia untuk memodernisasi Angkatan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keamanan maritim PNG. PNGDF yang lebih mumpuni akan lebih efektif dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti penangkapan ikan ilegal dan kejahatan lintas batas, serta meningkatkan ketahanan internal negara tersebut.
Pergeseran Kebijakan PNG: Perjanjian ini secara substansial menempatkan PNG pada pihak aliansi. Meskipun para pemimpin PNG bersikeras mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan semua negara (“friends to all, enemies to none”), kewajiban pertahanan timbal balik secara strategis mengikatnya lebih erat dengan sistem aliansi Barat.

  1. Dampak pada ASEAN: Dilema Keamanan dan Sentralitas

Bagi Asia Tenggara, Perjanjian Pukpuk menjadi salah satu dari serangkaian formalisasi aliansi (bersama AUKUS dan penguatan pakta AS-Filipina) yang membentuk lingkungan strategis di sekitar kawasan tersebut.

Pengamanan Garis Pertahanan Australia: Perjanjian ini mengamankan perbatasan utara Australia (PNG), memungkinkan Canberra untuk lebih fokus pada dinamika strategis yang kompleks di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini juga melengkapi upaya Australia untuk mempererat kerja sama keamanan bilateral dengan Indonesia, yang berbatasan langsung dengan PNG.
Peningkatan Militerisasi Regional: Kehadiran aliansi formal baru ini memperparah dilema keamanan bagi beberapa negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang cenderung mendukung non-blok dan Sentralitas ASEAN. Mereka khawatir bahwa formalisasi aliansi militer akan meningkatkan militerisasi kawasan dan mempertajam persaingan kekuatan besar.
Potensi Melemahnya Sentralitas ASEAN: Semakin banyak aliansi dan masalah keamanan regional yang diselesaikan melalui pakta bilateral di luar forum ASEAN, semakin besar potensi melemahnya peran ASEAN sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Ini menuntut ASEAN untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan relevansinya sebagai penggerak utama.