
Daniella Weiss itu seperti perunggu. Keras, dingin, dan nyaris tak mungkin dibentuk ulang. Dia bukan politikus biasa. Dia adalah ideologi yang berjalan. “Ibu Baptis” gerakan pemukim Israel, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.
Usianya yang sudah memasuki babak kesembilan ini menunjukkan satu hal: dia adalah veteran. Seorang pelopor dalam keyakinan yang, sayangnya, membakar bukan semangat kebangsaan, melainkan membakar hukum.
Hukum Adalah Kain Kafan
Bagi Weiss, hukum internasional itu mungkin hanya sebuah kain kafan. Ada, tapi tidak berlaku baginya. Dia adalah pendiri Nachala, organisasi yang getol mendirikan permukiman—atau dalam bahasa Weiss, “komunitas”—di Tepi Barat.
Coba kita buka Konvensi Jenewa Keempat, Pasal 49. Isinya jelas, sejelas air di teko: “Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan bagian dari populasi sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Ini bukan fatwa ulama, ini ketentuan hukum perang yang mengikat.
Setiap batu yang diletakkan Weiss—sejak dia muda hingga sekarang di usia lebih dari 80—di Tepi Barat adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap pasal ini. Ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Kedumim, dia memimpin sebuah unit yang secara struktural melanggar perjanjian global. Bagaimana mungkin kita bicara perdamaian jika fondasinya sudah kita bangun di atas kejahatan perang yang sistematis?
Eksklusivitas vs. Kemanusiaan
Weiss punya visi “Israel Raya”. Baginya, Tepi Barat (Yudea dan Samaria) adalah hak suci. Belakangan, dia bahkan terang-terangan bicara soal Gaza. Mau apa di Gaza? Mendirikan permukiman lagi.
Ketika dia diwawancarai dan ditanya soal kematian anak-anak Palestina, jawabannya pedas dan dingin: “Anak-anak saya lebih diutamakan daripada anak-anak musuh, titik.”
Ini bukan sekadar pernyataan politik yang kasar. Ini adalah penolakan terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi jantung dari semua sistem hukum modern. Hukum tidak mengenal anak musuh atau anak sahabat. Hukum mengenal korban. Reaksi Weiss menunjukkan sebuah jurang pemisah antara Zionisme ideologisnya dengan norma-norma hak asasi manusia universal.
Ketika seorang figur publik—apalagi seorang pemimpin ideologis yang telah mendedikasikan hidupnya selama beberapa dekade—menempatkan hak ilahi di atas hukum positif, dan menempatkan eksklusivitas ras di atas kemanusiaan, kita harus berhenti sejenak. Ini bukan lagi soal batas wilayah. Ini soal etiket peradaban.
Sanksi Hanya “Gigitan Nyamuk”
Dunia mencoba bergerak. Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi padanya. Pembatasan aset, larangan perjalanan. Langkah ini tujuannya adalah memberi “gigitan” pada gerakan pemukim.
Tapi bagi Weiss, sanksi itu mungkin hanya gigitan nyamuk. Dia sudah terlanjur merasa berada di atas hukum. Dia adalah manifestasi dari impunitas. Apalagi, ada yang mencalonkannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ini adalah lelucon pahit dalam sejarah penghargaan global. Mencalonkan arsitek pelanggaran hukum internasional untuk Hadiah Perdamaian.
Intinya begini: Daniella Weiss adalah cermin. Di usianya yang sudah senja dan penuh pengalaman, dia justru memperlihatkan seberapa jauh sebuah keyakinan fanatik bisa menginjak-injak tatanan hukum global. Kita bisa terus berdebat soal teologi dan sejarah, tapi di depan meja hijau, dia adalah terdakwa.
Dan selama “Ibu Baptis” ini terus beroperasi, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang tersimpan rapi di dalam laci yang terkunci.